Aksi teatrikal peringati Hari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Ke-70 di Depan Istana Negara |
Ke-70, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) menggelar aksi
damai dan teatrikal dengan membawa sebuah peti mati simbol dari kegagalan Negara
dalam menuntaskan persoalan kasus HAM. Aksi berlangsung di depan Gedung Istana
Presiden. Senin, 10/12/2018.
Jokowi untuk menuntaskan persoalan kasus HAM, baik masa lalu maupun yang sedang
terjadi seperti: Tragedi 1965, Kerusuhan Mei, Penghilangan Paksa Aktivis
Mahasiswa, Semanggi I dan II, Tanjung Priok, dan Peristiwa Talang Sari-Lampung.
Bahkan dalam rentang waktu 20 tahun Reformasi, seiring bertumbuhnya kesadaran
tentang HAM, di sana-sini masih banyak korban pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh institusi negara seperti pembunuhan Munir (2004), kurun waktu 2010-2018
terjadi pembunuhan 100 orang Papua di luar hukum (unlawful killings).
“Alih-alih menegakkan HAM, negara
justru menjadi dalang dari pelbagai peristiwa berdarah di tanah air. Demokrasi
yang seharusnya menjadi locus tumbuh suburnya HAM, justru menjadi awan gelap
kematian bagi mereka yang bersuara lantang melawan ketidakadilan dan represivitas
yang disebabkan oleh negara. Upaya untuk menegakkan HAM dan menyelesaikan
persoalan HAM berat masa lalu hanya menjadi janji manis elit demi mendulang
suara,” tegas PMKRI dalam rilis aksi yang diterima verbivora.com. Senin, 10/12.
rilisnya, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengagendakan dalam Nawacita-nya
tentang upaya penyelesaian HAM berat masa lalu dan menghadirkan negara kuat
dalam melindungi dan menjamin kemerdekaan individu dan HAM. Namun, pada
kenyataan, empat tahun berkuasa tidak ada satupun kasus pelanggaran HAM berat
masa lalu yang tuntas terselesaikan dalam rezim ini.
Selain itu Presidium Gerakan
Kemasyarakatan PP PMKRI, Rinto Namang, menilai,
tidak ada political will dari Jokowi
untuk memerintahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal itu
karena Jokowi sendiri tak paham tentang konsep HAM sebagaimana yang pernah
diperdebatkan dalam rangka pendirian Republik dan ia tersandera kepentingan
para pelaku pelanggaran HAM (militer) yang berada dalam lingkaran kekuasaannya.
“Lonceng kematian HAM berbunyi
nyaring dalam rezim ini. Yang paling anyar, peristiwa pembantaian yang
mengakibatkan kematian 31 pekerja konstruksi jembatan di Kabupaten Nduga oleh
Kelompok Kriminal Bersenjata yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka
(OPM),” tegas Rinto dalam Orasinya
Jokowi menegaskan agar aparat keamanan menumpas hingga ke akar-akarnya dan
berjanji pembangunan di sana akan tetap berlanjut. Menurut kami, di situlah
letak ketidakpahaman Presiden terhadap situasi Papua. Jokowi menganggap Papua
hanya dari perspektif pembangunan fisik semata, dan mengabaikan soal
pembangunan di bidang sumber daya manusia dari perspektif orang Papua sendiri.
Pembangunan Papua hanya dilihat dari Jakarta, bukan dari kultur orang Papua
sendiri.
Dalam aksi tersebut Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia juga menyerukan 5 tuntutan kepada
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk:
untuk menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu dengan menyeret para pelakunya ke
pengadilan
yang terjadi di masa lalu, negara harus meminta maaf kepada para korban dan
keluarga korban
yang mengorbankan kehidupan warga sipil
membuka akses media asing masuk ke Papua, membuka ruang dialog dengan Papua
bukan represivitas dan intimidasi
berpendapat, berkumpul, dan berserikat dan beragama.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Ke-70 oleh PMKRI berjalan dengan tertib dan
diakhiri dengan penyalaan lilin dan doa bagi para korban dan aktivis pejuang HAM.*