Merefleksikan Makna Tahun Baru

Ket. Mario Yosryandi Sara (Foto: Dok. Pribadi)

Oleh: Mario Yosryandi Sara*

Perayaan tahun
baru biasanya diperingati dengan pesta besar dengan serangkaian acara khusus
yang dilakukan berbagai pihak. Acara spektakuler dengan pesta kembang api di
berbagai pelosok negeri biasanya disiapkan secara khusus untuk menandai
tenggelamnya tahun 2018 dan datangnya tahun baru 2019.

Pusat-pusat
keramaian di kota, hotel-hotel, pantai, kawasan wisata, dan tempat hiburan
biasanya dijadikan titik simpul masyarakat merayakan detik-detik pergantian
tahun. Dana miliaran rupiah dihabiskan sekedar untuk menyambut malam tahun baru
itu. Belum lagi korban yang berjatuhan dalam rangka peringatan tersebut.
Pertanyaan kecil
dalam batin ini muncul. Mengapa kita selalu berpikir tentang tahun baru dan
memperingati serta menyambutnya dengan acara super khusus?
Mengapa
menjelang tahun baru dijadikan titik refleksi masa lalu, masa kini, dan masa
depan? Padahal setiap hari selalu terjadi fase masa lalu setelah kita melewati
sesuatu, masa kini setiap kita berpikir saat itu, masa depan ketika kita
berpikir nanti.
Menunda refleksi
berarti sama saja menjadikan refleksi tak bermakna karena kita hanya bisa
memahami masa lalu. Tak dapat mencegah penyimpangan sedini mungkin. Menunda
refleksi hanya akan menghasilkan makna parsial yang tak memiliki ruh. Hal ini
berbeda dengan refleksi setiap waktu yang akhirnya akan membentuk sebuah visi
ke depan.
Maka jangan
heran tahun baru hanyalah sekedar simbolisme semata. Simbolisme tahun baru
hanya akan membawa kita kepada kehancuran karena kita tidak mampu memaknainya
dengan benar. Apalagi waktu 1 tahun adalah waktu yang sangat panjang yang telah
disediakan yang Maha Kuasa bagi kita untuk diisi dengan sebaik-baiknya.
Waktu itu
laksana air yang mengalir ke hilir yang tak pernah lagi kembali ke hulu. Waktu
juga laksana anak panah yang terlepas dari busurnya yang juga tak akan pernah
kembali. Kadang ia membangkitkan gairah dan semangat. Kadang ia memperdaya
kita.
Kadang kita
tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Oleh karenanya kita
harus menghargai setiap kesempatan yang ditawarkan sang waktu sebelum ditarik
dari kita karena kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya.
Tahun baru
selalu identik dengan kata “pesta pora”. Setiap pergantian tahun
masyarakat di seluruh dunia selalu menantinya dengan perasaan berbeda. Tak terkecuali
di Indonesia. Ada pesta meriah dengan sajian musik spesial, pesta pora di
pantai-pantai sepanjang malam, makan-makan, minum-minum, dan bahkan hingga yang
paling brutal yaitu pesta narkoba dan pesta seks.
Tak terekam
sedikitpun dalam setiap kegiatan tahun baru yang digelar, refleksi masa lalu
dengan menginventarisir segala bentuk perbuatan, tindakan, dan keputusan yang
pernah diambil untuk dijadikan refleksi menuju tahun depan yang lebih baik
lagi.
Yang ada hanya
“pesta” dan menikmati malam pergantian tahun yang sesungguhnya tiap
malam juga bisa kita nikmati. Detik-detik menuju tahun baru benar-benar hampa
tanpa makna. Di sinilah dibutuhkan “refleksi” sesungguhnya dari
memaknai tahun baru.
Sesungguhnya
refleksi adalah belajar. Belajar adalah cara untuk mengerti, memahami,
mendekati, menyadari, mencintai, dan menghasilkan masa depan yang lebih baik
dan bermakna.
Refleksi juga
merupakan ajang instrospeksi diri atas segala bentuk macam perbuatan, tindakan,
dan keputusan kita, di mana kadang kala merugikan orang lain, menyakiti, dan
menyengsarakan orang lain. Semua itu harus diubah menjadi lebih bermanfaat,
berguna, dan bekeadilan.
Masa lalu adalah
tempat untuk mengingat segala bentuk ucapan, tindakan, dan seluruh perbuatan
kita. Masa kini adalah media untuk merancang, memprediksi, dan menyiapkan
strategi terbaik menyikapi masa lalu menuju masa depan. Sedangkan masa depan
adalah masa yang senantiasa diinginkan, dicapai, dan dijadikan cita-cita
memetik hasil.
Kemampuan kita
memetakan dengan benar dengan mengambil hikmah dari masa lalu, merenungi masa
kini, dan merancang masa depan akan menjadi kunci keberhasilan kita menatap
masa depan yang lebih cerah dan mencerahkan.

Memperingati
tahun baru tidaklah salah? Tidak juga jelek? Tetapi, harus tetap bermakna. Jika
tahun baru hanya dijadikan ajang pesta pora minus makna sedikit pun maka
kerugian yang dalam adalah hasil yang dapat kita petik.

Namun, jika kita
mampu dan benar-benar menjadikan tahun baru sebagai titik tolak hijrah menuju
kebaikan, keadilan, kebijaksanaan, dan kesuksesan maka keuntungan besar akan
menjadi hikmah terbesar memperingati tahun baru. Sekarang, terserah kita
memilih jalan yang mana? Yang merugikan atau menguntungkan.

*Penulis adalah anggota aktif  PMKRI Cabang Kupang, Mahasiswa semester V, Universitas Nusa Cendana, Fakultas Peternakan

RELATED ARTICLES

Most Popular