Antara Niat Berbuat Baik, Militansi dan Kapasitas Aktivis Dalam Merebut Kursi Legislatif

Ket. Efraim Reda (Foto. Dok. Pribadi)

Oleh : Efraim Mbomba Reda*

Adian Napitupulu, Fahri Hamzah,
Budiman Sujatmiko, serta sederet nama aktivis lainnya telah menduduki parlemen.
Adian hari ini berperan sebagai pembela rezim, Fahri pengganggu rezim, dan
Sujatmiko memilih jalan lain, politisi dengan gagasan – gagasan yang sangat
akademis. Mereka adalah aktivis demokrasi yang tentunya anti terhadap
otoritarianisme. Mereka menumbangkan Orde Baru dan mempersembahkan reformasi
bagi bangsa ini bersama aktivis lainnya.

Aktivis 1998 atau Aktivis di Zaman
Orde Baru secara keseluruhan memberikan warna tersendiri dalam dinamika bangsa
ini. Mereka adalah orang – orang yang menyadari bahwa konsekuensi dari
perjuangan untuk menghirup kebebasan dalam bernegara dan berbangsa adalah
kematian. Seorang Adian Napitupulu misalnya belasan tahun berada di dunia
aktivis sebelum kemudian terlibat di dalam dunia kepartaian. Menjadi seorang
aktivis tentunya bukan kegiatan senang – senang dan mencari popularitas tetapi
memperjuangkan nilai – nilai untuk membangun peradaban dengan segala
konsekuensi buruk menyambut di depan mata.

Semakin lama seseorang bermain di
dalam dunia aktivis tentunya tidak sepenuhnya menjadi tolak ukur bahwa
militansi, konsistensi, dan nilai – nilai yang lainnya terpelihara dan terjaga,
namun agak sulit mengukur bagaimana kepemimpinan, militansi, konsistensi,
semangat perjuangan di negeri ini kalau tidak memakai parameter terlibat di
dalam dunia gerakan. Sebab dunia pergerakan adalah dunia pendidikan karakter,
pertarungan konsistensi serta semangat perjuangan dalam mengedepankan kebenaran
sehingga melahirkan jiwa kepemimpinan maupun kenegarawanan.
Hampir semua tokoh bangsa kita hari
ini lahir dari dunia pergerakan. Tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir,
Semaun, Kartosuwiryo dan Muso sejak muda terlibat dalam dunia pergerakan. Bung
Karno mulai belajar berorganisasi pada usia yang sangat dini, ayahnya
menitipkan Bung Karno pada Tjokroaminoto pada usia 13 tahun, waktu itu Bung
Karno adalah pria manja, terbukti bahwa ia menitihkan air mata ketika berpisah
dari ayahnya. Musso, Semaun dan tokoh yang lainnya pun demikian.
Niat berbuat baik, militansi dan
semangat perjuangan aktivis hari ini dalam merebut kursi di parlemen pun
semakin menyala. Dengan berbagai macam dalil, mereka menjawapi pertanyaan –
peryanyaan publik, salah satu nya adalah memperjuangkan aspirasi rakyat di
parlemen, melalui proses pembuatan kebijakan serta menjadi teladan sebagaimana
hakikatnya pemimpin. Lebih dari pada itu, agenda yang lebih mendasar adalah
memperjuangkan secara lebih serius dua dari enam tuntuan reformasi yakni,
penegakan supremasi hukum dan pemberantasan KKN.
Pertanyaannya adalah dari rekam jejak
yang telah lebih dahulu diperlihatkan oleh aktivis – aktivis sebelumnya apakah
aktivis hari ini, dengan tantangan dalam dinamika aktivis yang tidak sekeras
dahulu akan mampu memberi warna (perubahan) pada lingkaran parlemen? Atau tak
bedanya dengan aktivis sebelumnya yang pada akhirnya terjerat kasus korupsi,
menjadi pelopor dalam usaha melemahkan KPK serta asing dengan hal – hal yang
sifatnya membangun peradaban yang seharusnya dilakukan oleh politisi.
Dari parlemen jalanan menuju parlemen
sungguhan jelas bukan perkara mudah. Apalagi aktivis membawa beban yang lebih
besar dari pada itu, yaitu janji yang langsung ditagih, dikontrol atau diawasi
oleh rekan – rekannya di luar parlemen sebagai sebuah proses untuk memastikan
apakah konsistensi itu tetap hidup di parlemen yang penuh dengan kepentingan
tersebut ataukah malah kalah dengan bujuk rayu maupun ancaman dari kekuasaan?
Aktivis di era milenial ini tentunya
harus matang mempersiapkan banyak hal sebelum memutuskan terjun ke dunia
parlemen. Matang artinya mesti memperdalam kapasitasi intelektual, membawa
konsep – konsep perubahan, serta memetakan basis kekuatan yang tujuannya adalah
memperjuangkan kebenaran. Karena di negera yang menganut sistem demokrasi
dengan ketiadaan fokus dari pemimpin untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa,
kekuatan selalu lebih diperhitungkan dari pada kebenaran.
Tak dapat dielakan bahwa ideal
politik selalu berbeda dengan realitas politik. Pada titik itulah idealisme
aktivis diuji dalam usahanya memperjuangkan kebenaran. Bagaimanapun juga niat
untuk memperjuangkan kebenaran yang menggebu – gebu mesti diimbangi dengan
kualitas intelektual dan gerakan, sebab pengetahuan juga adalah kekuasaan. Nah,
untuk aktivis yang memiliki niat untuk terjun ke dunia parlemen namun belum
matang secara pengetahuan dan gerakan, tidak usah terburu – buru. Belajarlah
dari filosofi pohon bambu, selama tahun pertama ia tidak bertumbuh ke atas,
melainkan memperkuat akar. Lima tahun berikutnya pohon bambu pun bertubuh
sejadi jadinya.
Namun bagaimanapun juga niat dari
aktivis maupun anak muda yang terjun ke politik itu dikarenakan ekpresi
kekesalan terhadap elit yang tak membawa perubahan, bahkan menciptakan oligarki
kekuasaan. Semoga masa ini adalah masa dimana perubahan kembali dipelopori oleh
aktivis seperti mereka mempelopori perubahan – perubahan lainnya. Bagi aktivis
yang sudah memutuskan untuk terjun ke dunia parlemen barangkali pengetahuan
intelektual dan gerakan bisa dipelajari secara otodidak. Untuk yang belum
memutuskan terjun, belajarlah dari filosofi pohon bambu.
Untuk rekan – rekan aktivis setanah
air yang hari ini ramai – ramai memutuskan terjun ke dunia parlemen, rakyat
mendukungmu Bung!, berjuanglah untuk rakyat seperti ketika menjadi aktivis.
Rakyat percaya bahwa engkau hanya berganti pakayan, seperti berdasi dengan
sepatu hitam disemir, namun kau tetap merakyat. Jika berhasil, teruslah
dengarkan denyut nadi rakyat agar kau tetap setia padanya. Besetubulah dengan
rakyat agar kau terus mengerti kesengsaraannya. Namun jika engkau menang dan
berubah suatu hari nanti, kau tidak ubahnya dengan Anas Urbaningrum dan Setia
Novanto yang akan selalu dimaki sepanjang sejarah bangsa dan kemanusiaan.
Dibalik kegelisahan bangsa tentang
militansi, idealisme dan kapasitas aktivis dalam merebut kursi legislatif,
muncul pula beberapa artis yang kerjanya menghibur, tak mengerti konsep
berbangsa, politik dan hukum lalu memutuskan untuk nyaleg.
*Penulis adalah, Mahasiswa Universitas Warmadewa Denpasar – Bali
Aktivis PMKRI Cabang Denpasar Sanctus Paulus

RELATED ARTICLES

Most Popular