Foto Beni CF. Bame |
Opini, Verbivora.com – Korbang nyawa rakyat sipil di tanah Papua terus berjatuhan bagaikan air hujan yang jatuh dari langit, hidup pun seperti tiada harapan untuk hari esok entah kemana kami harus mencari perlindungan. Resah, tangisan dan duka tak kunjung henti.
Hari ini di Nduga, Intan Jaya, Puncak, semua rakyat sipil berkeliaran di hutan belantara. Sejumlah nyawa berjatuhan dibawa lembah, tebing, gunung, bahkan di bawah pohon. Semua anak terancam dari masa depan mereka, korban pendidikan, kesehatan, ekonomi dan penembakan.
Tak ada keselamatan bagi generasi emas Papua, angka harapan hidup semakin menipis, genosida bagi rakyat Papua sudah didepan mata, apa salah kami?
Kepemimpinan Joko Widodo jilid II jauh lebih kejam, melihat Papua dengan pendekatan militer, hingga saat ini terus menurunkan pasukan dengan jumlah banyak ke Papua. Konflik dapat kita dengar, rasakan, akibat dari masuknya pasukan tersebut.
Ini menjadi luka batin bagi masyarakat Papua dan menaikkan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Sebenarnya presiden bisa mengubah cara pendekatan yang humanis, untuk melakukan sebuah terobosan bagi kesejateraan yang jauh lebih efisien.
Masalah di Papua sesungguhnya dapat kita selesaikan dengan cara yang bermartabat, jika negara berani dan fokus dalam menyelesaikan persoalan Papua. Jujur secara nilai kemanusiaan kita telah mengabaikan mereka yang termarjinal dan terbunuh dari kehidupan yang Allah berikan di tanah Papua.
Mengutip ungkapan Paus Fransiskus pemimpin umat Katolik di seluruh dunia, “manusia lebih penting dari pada ekonomi” dan kita harus saling menghormati, sebagai sesama warga negara. Kita dapat memilih untuk menjadi saudara atau kehilangan segalanya.
Persaudaraan artinya mendengarkan dengan hati terbuka. Persaudaraan berarti keteguhan dalam keyakinannya sendiri, karena tidak ada persaudaraan sejati jika keyakinan seseorang dinegosiasikan.
Terlepas dari perbedaan budaya dan tradisi, kehidupan sosial, agama tetapi kita semua ada di negara yang sama. Dalam hal ini, persaudaraan harus dibangun, bukan dengan negosiasi, tetapi melalui penghormatan terhadap budaya dan tradisi kita yang berbeda.
Kini saatnya mendengarkan, waktu penerimaan yang tulus, saatnya memberi kepastian bahwa dunia tanpa saudara adalah dunia musuh. Kita tidak bisa mengatakan kita adalah saudara atau bukan saudara. Yang tepat, kita adalah saudara atau musuh karena ketidakpedulian adalah bentuk permusuhan yang sangat halus.
Kita tidak perlu berperang untuk menjadi musuh, mengabaikan satu sama lain sudah cukup membangun tembok permusuhan. Sudah waktunya untuk kita hentikan sikap berpaling dan mengabaikan orang lain seolah-olah mereka tidak ada.
Oleh sebab itu, terlepas dari setiap pesan suci Paus Fransiskus, konflik dengan mengorbankan kehidupan manusia bagi setiap negara di seluruh penjuru dunia, telah memukul hati nurani bangsa Indonesia.
Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, selama ini telah melakukan pendekatan kekerasan untuk melanggengkan hasrat pembangunan di Papua. Pendekatan tersebut menumbuhkan luka dan air mata, membuka jalur diplomasi dunia Internasional, menjadi semakin kencang karena pelanggaran HAM.
Bagi orang asli Papua, mereka tidak pernah berhenti berjuang, melalui diplomasi dipanggung dunia Internasional maupun berjuang ditengah hutan belantara Papua.
Negara lebih kejam membasmi manusia di Papua, tanpa memperhitungkan nilai kemanusiaan dan rakyat sipil menjadi korban. Tidak hanya disatu tempat melainkan seluruh kabupaten atau kota, hari ini Nduga dan Intan Jaya.
Papua kini cukup memprihatinkan, karena berbagai polemik yang terus terjadi. Otonomi Khusus (Otsus), Pemekaran wilayah, HAM dan masih banyak persoalan lain. Saya tidak mengulas secara terperinci karena yang paling penting saat ini, kapan Papua bisa menjadi tanah yang damai.
Dengan demikian, dalam tulisan ini, saya ingin merekomendasikan beberapa hal yang menurut saya penting untuk negara mengambil langkah dalam menyelesaikan kasus di Papua, terutama polemik Intan Jaya dan Nduga yang sampai hari saat ini masih terus berlanjut.
Pertama, negara harus berani dan serius dalam menyelesaikan kasus Papua terutama Nduga dan Intan Jaya yang saat ini menelan korban, baik itu TNI/Polri, KKB, masyarakat sipil dan TPN-OPM.
Kedua, negara harus menarik pasukan organik dan non-organik yang cukup banyak di Papua terutama di Nduga dan Intan Jaya, agar masyarakat bisa kembali ke kampung halamannya.
Ketiga, Presiden Joko Widodo segera mengubah gaya pendekatan militer menjadi pendekatan holistik dan humanis, sehingga mampu membawa perubahan sosial di tenah masyarakat Papua dan saling percaya dalam penanganan persoalan di Intan Jaya.
Keempat, pemerintah pusat mencabut izin usaha tambang Blok Wabu untuk meredam konflik berkepanjangan di Intan Jaya.
Kelima, pemerintah segera memperhatikan para pengungsi dari Intan Jaya, Nduga, Timika, Nabire dan Wamena.
*Beni CF. Bame: PP PMKRI KOMDA Regio Papua 2020-2022