PP PMKRI Kecam Penangkapan Tiga Pejuang Adat Dayak Modang Long Wai

PP PMKRI Kecam Penangkapan Tiga Pejuang Adat Dayak Modang Long Wai


Jakarta, Verbivora.com Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) mengecam penangkapan tiga pejuang adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq, Kecamatan Kutai Timur, Kutai, Klimantan Timur (Kaltim), Sabtu (27/2/2021).

Tiga pejuang adat itu adalah Daud Luwing (Kepala Adat), Benediktus Beng Lui (Sekertaris Adat) dan Elisason (Dewan Adat Daerah Kaltim).

Mereka dijemput paksa belasan mobil aparat, yang bersenjata lengkap di perjalanan pulang usai melakukan pendataan aset-aset di wilayah adat Dayak Modang Long Wai Desa Long Bentuq.

Penangkapan yang dilakukan terhadap tiga orang pejuang adat tersebut, patut diduga akibat gencarnya penolakan masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq terhadap rencana dan aktivitas PT. Subur Abadi Wana Agung (SAWA).

Penolakan tersebut dilakukan dengan aksi damai, dengan cara pemortalan jalan yang dilakukan di KM. 16 Desa Long Bentuq sebagai bentuk kekecewaan masyarakat Dayak Modang Long Wai atas perjuangan mereka selama 13 tahun dan tidak mendapatkan tanggapan baik dari perusahaan terkait tuntutan masyarakat adat atas hak ulayat mereka yang telah digusur dan ditanami Sawit seluas lebih kurang 4.000 Ha tanpa persetujuan masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai.

Masyarakat melakukan pemortalan jalan sambil membentang spanduk tertuliskan “kembalikan tanah adat kami” dan  “Stop rampas hak masyarakat adat” serta berbagai seruan lainnya.

Menanggapi kejadian tersebut, PP PMKRI menyesalkan kejadian itu. Penangkapan tiga orang pejuang adat terkesan sarat dengan kriminalisasi, karena tidak ada unsur pembuktian kesalahan para tokoh adat.

Alboin Samosir, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI mengatakan, “Kejadian ini mengingatkan kita kepada Efendi Buhing yang juga ditangkap oleh aparat polisi dengan dalih yang tidak jelas. Ini menjadi bukti betapa minimnya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat,” katanya.

Ia menambahkan, kejadian ini semakin mempertegas betapa masyarakat adat masih saja dianggap sebagai batu sandungan dalam pembangunan. Upaya untuk meredam perlawanan masyarakat adat dengan cara mengkriminalisasi bahkan cenderung represif, merupakan pengingkaran terhadap eksistensi masyarakat adat yang pada dasarnya dijamin dan dlindungi konstitusi.

“Berkaca dari proses penangkapan ketiga tokoh masyarakat adat Dayak Modang Long Wai berpotensi melanggar asas proporsionalitas yang diatur dalam Peraturan Kapolri 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,” terangnya.

“Pun penetapan tersangka terhadap ketiga tokoh adat tersebut tidak memiliki dalih yang kuat sebab aksi damai yang mereka lakukan merupakan aksi yang konstitusional, di mana setiap orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum yang diatur dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” lanjutnya.

Oleh karena itu, Alboin mendesak atas nama hati nurani dan kemanusian agar pihak kepolisian segera membebaskan ketiga tokoh adat tersebut, agar tidak menjadi preseden buruk terhadap kinerja kepolisian.

Ia juga menambahkan, di beberapa daerah keberadaan masyarakat adat masih beririsan dengan lahan konsesi milik perusahaan baik itu swasta maupun negeri. Maka, apabila tidak ada sikap yang jelas dan tegas dari pemerintah bukan tidak mungkin akan terjadi kasus serupa.

“Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah, yakni segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, karena melalui RUU ini, proses pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dapat berjalan dengan baik. RUU ini sekaligus menegasikan aturan-aturan sektoral terkait masyarakat adat yang selama ini masih tumpang tindih,” tutupnya.*(JM)

RELATED ARTICLES

Most Popular