Kornel Wuli: Manusia dan Potret Tubuh

Opini, Verbivora.com – Manusia merupakan tubuh yang berjiwa, kata Plato.  Tanpa jiwa ia bukanlah manusia, melainkan hanya mesin biologis.

Senada dengan hal itu Walt Whitman dalam puisinya Starting From Paumanok, sebagaimana dikutip Fredi Sebho tanpa ragu menegaskan bahwa tubuh manusia yang berjiwa adalah tubuh yang ilahi karena semua bagian-bagiannya dijejali dengan makna surgawi (Fredi, 2017). Secara teologis, tubuh adalah bait Allah, tempat hadiranya pribadi transenden. 

Sebaliknya, jiwa tanpa tubuh juga tidak akan menjadi manusia, karena ia hanya entitas imaterial yang mengambang tanpa basis empiris. Keduanya berkelindan erat dalam membingkai seluruh kepribadian manusia. Kehadiran sebatang tubuh merupakan aspek penting bagi manusia, karena tubuh menunjang kehidupan manusia, maupun secara filosofis, yakni sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiri. Tubuh “menghidangkan” aspek estetik lagi energik yang pantas untuk dijelajahi demi suatu pencarian diri yang otentik. 

Tentu saja,  untuk menjadi otentik, orang harus menghargai dan memahami dirinya  secara baik. Tanpa pemahaman itu, respek terhadap diri, yang memungkinkan terjadinya penghayatan dan pemaknaan akan hilang. Padahal, penghayatan akan diri manusia sangatlah penting dalam pengenalan diri manusia dan merupakan jalan untuk menuju otentisitas diri.

Namun, di tengah refleksi tentang tubuh dan pribadi manusia  yang semakin berkembang oleh pelbagai bidang kajian ilmu pengetahuan, persoalan tentang degradasi diri manusia terus saja terjadi. Salah satu persoalan diangkat penulis di sini ialah maraknya fenomena bunuh diri. Karena itu, tulisan ini berikhtiar untuk  menelaah fenomena bunuh diri melalui teori psikologi humanistik Abraham Maslow.

Membaca Fenomena Bunuh Diri Dalam Prespektif Abraham Maslow

 Pada Minggu, 7 Maret 2021 lalu, beberapa media online memberitakan bahwa seorang frater atau calon imam ditemukan tewas gantung diri. Peristiwa naas itu kemudian menggerkan warga masyarakat dan menjadi salah satu tranding topic di media sosial. 

Sikap empati serta rasa belasungkawa masyarakat bertebaran di kolom komentar Facebook, Instagram, Twitter, maupun media sosial lainnya. Peristiwa lalu menyembul sebuah pertanyaan reflektif: bagaimana mungkin seorang pribadi manusia yang subjektif, rasional dan otonom dapat  mengakhiri seluruh hidupnya pada seutas tali?

Hampir setiap hari, media sosial memberitakan maraknya fenomena bunuh diri, baik dalam skala nasional, maupun global. Menurut data yang diperoleh dari WHO, Organisasi Kesehatan Dunia, menyebut bahwa dalam setahun jumlah orang yang melakukan bunuh diri sekitar satu juta orang. Ini berarti dalam waktu 40 detik, ada orang yang bunuh diri di suatu tempat di dunia. Motif bunuh diri yang ditemukan pun berupa-rupa; mulai dari gantung diri, meminum racun, menikam dirinya, membakar diri serta aksi nekad lainnya.

Pada masa pandemi ini, fenomena bunuh diri telah menunjukan suatu gejala yang mengcengangkan. Sebagaimana dilaporkan oleh BBC News, bahwa angka bunuh diri di Jepang, pada tahun 2020 melonjak untuk pertama kalinya dalam 11 tahun terakhir. Selama Oktober 2020, angka bunuh diri perempuan Jepang naik hingga 70% dibandingkan bulan yang sama pada tahun sebelumnya.

Sedangkan dalam konteks nasional, fenomena bunuh diri menunjukan peningkatan yang signifikan. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa di era pandemi seperti yang kita hadapi sekarang ini, bukan saja menyoal kesehatan manusia, tetapi juga menjadi pemicu fenomena global lainnya.

Karena itu, fenomena bunuh diri tersebut tidak boleh dilihat sebagai persoalan yang lumrah, tetapi harus dipotret secara integral dan komprehensif. Di tengah kehidupan yang semakin maju, kompetitif, mandiri serta egoistik, kita tidak hanya disadarkan untuk melihat hidup hanya sebagai suatu perjuangan tanpa henti yang terus diusahakan untuk mencapai sebuah tujuan ultim, baik secara personal maupun komunal, tetapi juga dilandasi oleh penghayatan, bahwa hidup merupakan suatu pemberian yang pantas untuk disyukuri, life is a gift.

Dalam perspektif psikologi humanistik, Abraham Maslow mengungkapkan bahwa fenomena bunuh diri sangat berkaitan erat dengan proses aktualisasi diri. Ia mengemukakan beberapa kebutuhan dasar yang saling berkaitan dalam mendorong pengaktualisasian diri setiap pribadi. Elemen-elemen itu ialah kebutuhan akan harga diri, kebutuhan psikologis, kebutuhan akan rasa aman, rasa cinta dan dimiliki, serta kebutuhan akan aktualisasi diri. 

Apabila hal-hal ini tidak terpenuhi, maka pelenyapan atas tubuh atau tindakan bunuh diri menjadi pilihan akhir. Alhasil, tubuh tidak lagi dimaknai sebagai suatu yang energik, estetik sekaligus bermakna spiritual, tetapi dipandang sebagai objek yang mengancam. Dalam nada yang agak ektrem, bunuh diri merupakan ketakutan seorang individu pada diri sendiri, sebab ia terlebih dahulu melihat seluruh kepribadiannya sebagai objek, bukan sebagai subjek yang berpikir dan berkehendak.

Selain itu, fenomena bunuh diri selalu berhubungan dengan lemahnya kesadaran manusia dalam memaknai hidup secara mendalam. Faktor ini boleh jadi merupakan bentuk penyanggkalan terhadap rasionalitas individu. Orang yang melakukan bunuh diri adalah mereka yang boleh jadi tidak menggunakan nalar berpikirnya secara baik, sehingga apabila penderitaan datang, refleksi tentang diri menjadi hilang dan kabur. Dengan begitu,  penderitaan dijadikan semacam patokan bahwa hidup tidak lagi bermakna bagi dirinya. 

Bila demikian, pertanyaan reflektif yang dapat diajukan di sini; Apakah secara esensial dan eksistensial nilai sebuah kehidupan hanya diperuntukan untuk sebuah kematian? Lantas bagaimana cara kita merayakan serta mengapresiasi kehidupan yang telah berlangsung di tengah dunia ini? 

Hal ini tentu menjadi sebuah pertanyaan elaboratif yang memberikan kita ruang kebebasan untuk mencari sebuah jawaban final terhadap pengalaman eksistensial hidup manusia tersebut. Namun, pilihan untuk membunuh diri sangat tidak dibenarkan baik dalam konteks agama maupun moral. 

Hal yang perlu dilakukan ialah bagaimana nilai sebuah kehidupan itu dirayakan, terlepas dari pelbagai persoalan yang ditampakkan dalam konteks keseharian kita. Oleh karena itu, agar manusia dapat memahami dan merealisasikan dirinya secara baik, Abraham Maslow memberikan beberapa poin terkait  teori kebutuhan manusia.

 Pertama, Physiological Needs atau kebutuhan fisik. Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan dasar yang meliputi, makanan, minuman dan pakaian.  Maslow menandaskan bahwa kebutuhan fisik merupakan hal penting dan melebihi hal apapun. 

Kedua, Safety Needs atau kebutuhan akan rasa aman. Hal itu meliputi  perlindungan, kebebasan dari rasa takut dan kekacauan. Ketiga, The Belongingness and Love Needs atau kebutuhan akan kepemilikan dan cinta. 

Setelah kebutuhan fisik dan rasa aman terpenuhi, manusia akan cenderung mencari cinta orang lain supaya dipahami oleh sesama. Kebutuhan akan cinta sebagaimana dijelaskan oleh Maslow tidak sama dengan kebutuhan seks, sebab dalam hidup manusia selalu membutuhkan sesama.

 Keempat, The Esteem Needs atau kebutuhan untuk dihargai. Setelah kebutuhan di atas terpenuhi, maka  sudah menjadi naluri manusia untuk dihargai oleh sesama bahkan masyarakat. Maslow mengklasifikasi bagian ini menjadi dua bagian yaitu harga diri dan penghargaan. Bila kebutuhkan ini tidak dipenuhi, maka akan berdampak pada aspek psikologis, yaitu kurangnya rasa percaya diri dan mengisolasi diri dari pergaulan sosial. 

Sedangkan kelima, Self Actualization atau kebutuhan akan aktualisasi diri. Dalam pandangan Maslow, kebutuhan ini menjadi puncak tertinggi pencapaian manusia. Pencapaian aktualisasi diri dapat membantu manusia untuk menumbuhkan presepsi dan motivasi, agar dapat merayakan kehidupannya secara lebih kontekstual. 

Untuk itu, bagi Maslow, seluruh komponen ini harus terpenuhi dan saling menentukan. Jika tidak, maka akan menyebabkan kurangnya pemahaman tentang kepribadian manusia.

Dalam membaca fenomena bunuh diri sebagaimana yang diuraikan di atas, pandangan Maslow menjadi relevan, sebab persoalan seputar manusia dan kepribadiannya, selalu mengandung pelbagai dimensi yang terpatri di dalamnya. Fenomena bunuh diri, bukan hanya menyenggol aspek biologis ataupun psikologis, tetapi berkaitan dengan kepribadian manusia secara intergral, sebab manusia merupakan makluk multi dimensi. *(AR)

Kornel Wuli: Mahasiswa STFK Ledalero, Anggota biasa PMKRI Cabang Maumere.

Kornel Wuli: Manusia dan Potret Tubuh

ornel Wuli: Mahasiswa STFK Ledalero, Anggota biasa PMKRI Cabang Maumere

RELATED ARTICLES

Most Popular