Esensi dan Eksistensi Hakikat Hidup

Jakarta, Verbivora.com – Dominus Vobiscum, salam damai Kristus untuk kita semua, kiranya berkat Tuhan Yesus Kristus senantiasa menyertai dan memberkati kita.

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu (Mat 11:28). Sepenggal ayat kitab suci yang kita sering dengar, baik di rumah, lingkungan maupun di gereja. 

Tidak bisa dipungkiri tahun 2020 ini merupakan tahun yang berat bagi seluruh umat manusia diberbagai belahan dunia, sebuah kedukacitaan secara global yang tidak disangka akan terjadi di abad ke-21 ini. 

Awal tahun 2020 kita telah menghadapi bencana alam di berbagai kota di Indonesia, kemudian pada Maret 2020 Virus Corona-19 mulai merebak di tanah air sebagai bencana non-alam. Sulit dipercaya, tetapi benar terjadi dan sedang kita alami hingga hari ini, awalnya pemerintah Indonesia mengira tidak akan terinfeksi virus yang pertama kali teridentifikasi di Wuhan, Cina.

Namun, kenyataannya harus kita terima, 2020 sebagai the new decade di era milenium III dengan segala kecanggihan teknologi sekalipun, tidak mampu membendung benda mikroskopis yang tak kelihatan tapi mampu menghentikan semua gelagat dan peristiwa hidup manusia sehari-hari, bagai kemarau setahun, dihapus hujan sehari.

Bukan soal cepat merebaknya virus, bukan juga soal mampu meruntuhkan segala aktivitas manusia, lebih dari itu, komunitas manusia secara global diajak untuk berkelana kembali pada hakikat hidupnya, mempertanyakan apa artinya esensi dan eksistensi.

Apa yang inti dari hidup dan apa yang remeh temeh, apa artinya kehadiran orang lain bagi saya, begitupun sebaliknya, apa makna hidup kehadiran saya bagi sesama.

Lebih dari satu tahun kita diombang-ambingkan dalam ketidakpastian menghadapi pandemi Covid-19. Segala daya upaya telah dilakukan oleh para stakeholders baik para ahli bioteknologi dan kaum ilmiah yang sedang berjuang dalam menemukan vaksin virus ini, Beberapa sudah mencoba mempublikasikan hasil temuan Vaksinnya, tetapi masih sangat jauh dari kata sempurna, banyak kekurangan disana sini.

Para ahli kesehatan dan pemerintah yang terus mengkampanyekan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sampai para tenaga medis yang terus bertarung dengan virus lewat penyembuhan dan rehabilitasi mereka yang sudah terinfeksi oleh virus Covid-19 ini.  

Setiap hari korban jiwa terus mengalami peningkatan, utamanya untuk mereka yang memiliki penyakit bawaan atau dikenal dengan istilah komorbid sehingga akan mudah tertular dan bisa berujung pada kematian, bila tidak mematuhi protokol kesehatan. 

Tidak hanya dari segi medis yang dilakukan untuk dapat meredakan bencana seperti ini, Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia dengan rasa empati yang besar turut mendoakan dan memberikan berkatnya bagi dunia, dengan harapan mampu untuk menghadapi kondisi ini, dan selekasnya bisa berakhir.

Apa yang dapat kita petik dari peristiwa pandemi Covid-19 ini? tentu banyak pandangan dan pendapat yang menyerukan baik dan buruknya. Jika kita merefleksikan jauh kedalam hati dan pikiran kita, mengapa hal ini dapat terjadi pada kita? Apa yang manusia telah lakukan? 

Hubungan umat manusia dengan alam beberapa dekade terakhir ini sebenarnya sudah terjawab dalam ensiklik Paus Fransiskus mengenai ”Laudato Si” bahwa sebenarnya menjadi tugas penting bagi kita saat ini untuk lebih memperhatikan alam sekitar kita. 

Refleksi dan pengalaman iman yang dapat kita resapi dari ensiklik tersebut adalah untuk lebih memperlakukan alam kita dengan sebaik-baiknya dan menjaganya. Agar keseimbangan hidup antara alam dan manusia dapat berjalan harmonis. 

Artinya dapat membangun simbiosis mutualisme antar sesama mahluk. Manusia menjaga alam maka alam pun akan menjaga manusia dangan memberikan kesejukan dan kedamaian dalam hidup, 

Manusia perlu untuk menghentikan segala aktivitas yang bersifat destruktif terhadap alam yang didalamnya termasuk lingkungan hidup, ekosistem dan tatanan hidup mahluk ciptaan Allah yang mulai kacau akibat sifat eksploitatif manusia yang tidak ada habisnya. 

Diberbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia sendiri eksploitasi terhadap alam sudah sangat berlebihan sehingga keseimbangan yang terjadi antara manusia dengan alam, sudah tidak lagi harmonis. Padahal, Allah menciptakan manusia serta alam dan segala isinya agar saling menjaga satu sama lain untuk hidup yang harmonis. 

Dalam kitab kejadian saja Allah telah memberikan instruktsi bahwa manusia dapat memanfaatkan isi alam ciptaanNya dalam bahasa ilmiah manusia ditempatkan sebagai titik puncak dari rantai makanan, tetapi yang salah adalah ketamakan umat manusia untuk kepentingan pribadi  dan mengabaikan kesejahteraan mahluk hidup lainnya. 

Contoh nyata saat ini kita hadapi Pandemi Covid-19, seluruh dunia mengalaminya, jutaan orang sudah menjadi korban keganasan dari virus ini. Kita dapat berefleksi masing-masing, terlepas dari teori ilmiah yang menjelaskan penyebab mengapa virus Covid-19 dulu belum pernah terjadi maupun teridentifikasi di belahan bumi manapun bisa terjadi saat ini? Mengapa sampai sekarang belum ada manusia yang cukup cerdas yang dapat menemukan vaksin untuk penyakit ini? 

Apakah ini semacam bentuk “sapaan” Allah bagi kita umat manusia untuk dapat merendahkan hati, berefleksi bahkan berpikir lebih dalam lagi bahwa kita masihlah ciptaanNya yang meskipun diciptakan segambar dan serupa denganNya namun tetaplah memiliki keterbatasan dan kekurangan yang seharusnya membawa kita untuk lebih rendah hati dalam bertindak serta tetap menjaga hubungan yang baik dengan sesama mahluk hidup, dengan alam semesta terlebih khusus menjaga hubungan vertikal kita dengan Allah.

Marilah sebagai mahluk yang diciptakan dengan martabat yang begitu tinggi oleh Allah, kita menjaga anugerah tersebut dengan menjadi mahluk yang bermartabat, bukan hanya hubungan kita dengan sesama manusia namun bagaimana kita  melestarikan alam.

Dengan tidak mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam secara semena-mena, mengetahui batasan dalam berinteraksi dengan semesta yang pada intinya kita harus belajar kerendahan hati dari sosok Bunda Maria yang begitu menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah yang harus melakukan apa yang diperintahkan oleh Sang pencipta. 

Dalam konteks pandemi Covid-19 yang telah kita lalui sepanjang tahun 2020 ini, matius 11:28 menjadi semacam petunjuk iman bagi kita, bahwasannya ketika kita merasa lelah dengan pandemi ini, merasa bahwa kita sudah tidak punya harapan lagi, merasa bahwa sepertinya pandemi ini sudah tidak ada ujungnya.

Mari kita datang kepada Tuhan, memasrahkan hidup kita kepadaNya, memohon pertolongannya sebagai seorang yang letih dan butuh perlindungan dan pertolongan Allah dalam kehidupan kita, semakin rendah hati kita, semakin hati kita dan pikiran kita akan terbuka untuk memahami maksud Allah dan misteri ilahi yang tidak dapat dipahmi oleh orang yang congkak dan tegar hati.

Semoga kita dapat terus berefleksi diri, melakukan pertobatan sejati khususnya pertobatan ekologis sesuai amanat Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si. *(AR)

Paulus Gemma Galgani: Presidium Hubungan Masyarakat Katolik PP PMKRI 2020-2022

Refleksi Pandemi Covid-19: Esensi dan Eksistensi Hakikat Hidup
Paulus Gemma Galgani, Presidium Hubungan Masyarakat Katolik PP PMKRI 2020-2022.

RELATED ARTICLES

Most Popular