Paradigma Pembangunan Kota Berbasis Masyarakat

OPINI, verbivora.com – Indonesia dikenal dengan negara maritim yang memiliki potensi Sumber Daya Alam yang melimpah. Namun, potensi tersebut akan kehilangan surplus ekonomis ketika strategi pengelolaannya tidak dilakukann secara baik dan benar.

Okto N T *Mahasiswa jurusan Teknik PWK UNPAK dan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Bogor 2016-2017
Okto N T  (Mahasiswa jurusan Teknik PWK UNPAK dan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Bogor 2016-2017)

Dalam aspek pascaperencanaan, ditemukan beberapa kendala serius yang menjadi konsekwensi kurang memadainya konsep perencanaan pengelolaan. Di sisi lain, kapasitas  sumber daya manusia yang belum siap serta perilaku birokrasi yang kurang menunjukan semangat pelayanan dan pengabdian kepada rakyat, menjadi problem utama yang mesti dikaji.

Deretan problem di atas menjadi sumber pemicu menghambatnya perkembangan suatu kota. Alhasil, narasi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur hanya mengendap di balik pusaran pragmatisme politisi.

Dua Persoalan Mendasar

Dalam KBBI, Kota dipahamai  sebagai daerah permukiman yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai lapisan masyarakat; daerah pemusatan penduduk dengan kepadatan tinggi serta fasilitas modern dansebagian besar penduduknya bekerja diluar pertanian.

Sementara itu, menurut UU Penataan Ruang  No 26 tahun 2007, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

Dua problem serius yang coba diangkat penulis dalam konteks ini adalah pembangunan dan perencanaan kota. Beberapa tahun terakhir banyak pakar yang menyebut beberapa kota mulai ditata dengan baik, salah satunya adalah kota Solo, yang akhir-akhir ini hidup dan berkembang pesat serta telah dikenal luas dan mendapat pengakuan internasional.

Kota Solo, dalam Senior Officials meeting (SOM) pada Asia pasific Munisterial Conference On housing and urban development (APMCHUD) pada 2010 lalu, telah melakukan program dalam bidang pembangunan perumahan, permukiman dan penataan kota lebih awal dibanding dengan apa yang dicanangkan The United Nations Human Settlement Programme (UN Habitat).

Paulus Hariyono, (2010) dalam bukunya, menjelaskan bahwa kota-kota yang ideal berhasil minimal dapat membebaskan diri dari persoalan pembangunan fisik, sosial dan ekonomi.

Secara fisik, kota dapat dilihat dengan indra manusia, seperti : (1) indra penglihatan, yang mampu menikmati isi kota secara estetis dan nyaman dipandang (tidak terlihat lingkungan kumuh, lalulintas yang semrawut/tidak teratur, tempat kebanjiran, penataan PKL yang kurang tertata, dan pengemis yang berkeliaran; (2) indra pendengaran, melalui indra ini tidak ada kebisingan kota;

(3) melalui indra penciuman, tidak ada bau-bau yang tidak sedap; (4) melalui indra peraba (kulit), suhu udara yang terasa nyaman; (5) melalui indra pencecap, orang tidak kelaparan bahkan mampu betah tinggal disuatu kota karena ciri khas masakannya yang lezat dan murah.Secara sosial ekonomi, masyarakat kota memiliki pendapatan yang cukup dan tempat tingggal yang nyaman dihuni secara humanis.

Fakta ideal tersebut sebetulnya jauh dari kondisi riil yang terjadi. Realitas kota-kota di Indonesia pada umunya berkembang seperti tak terkendali. Masyarakat sejatinya digiring dalam ruang kekaguman kota-kota maju di luar negeri, seperti China, Singapura, atau Kuala Lumpur. Hal ini tentu membutuhkan imajinasi tinggi untuk membangun kota menjadi kota yang maju, sebab biasanya dalam tataran implikatif mengalami penurunan dari target yang di tetapkan.

Pembangunan kota perlu melihat kemajuan pembangunan kota-kota di negara maju lalu menyesuaikan dengan karakteristik setiap kota yang berkembang di seluruh Indonesia. Karena konsep kota di negara maju belum tentu dapat diterapkan di Indonesia, sehingga tolak ukur pembangunan kota mengikuti tolak ukur yang digunakan di negara maju.

Berbicara mengenai pembangunan kota, tidak lepas dari tujuan pembangunan yakni meningkatkan pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerataan hasil pembangunan dan campuran pertumbuhan ekonomi tinggi dan pemerataan hasil pembangunan (Paulus Hariyono,2010).

Pertumbuhan ekonomi tinggi memiliki indikator pada kapital dan ‘konsumsi massal’ yang tinggi. Pertanyaan yang sering disodorkan adalah, apakah konsep masyarakat ‘komsumsi tinggi’ sungguh-sungguh merupakan tujuan pembangunan. Mengapa perubahan itu harus terjadi?

Tolak ukur komsumsi massal yang tinggi adalah pendapatan nasional atau pendapatan per kapita tinggi. Ada kecenderungan pemerintah berusaha merangkul kelompok orang yang memiliki kapital agar semaksimal mungkin mengejar tingkat ekonomi tinggi. Masyarakat yang mempunyai kemampuan kapital dipacu untuk meningkatkan ekonomi tinggi, sehingga cenderung mendapatkan prioritas.

Menurut para ahli ekonom di dunia, dikenal dengan istilah trickle down effect maksudnya adalah bila pertumbuhan ekonomi tinggi berjalan, akan ada sebagian kapital dan pendapatan yang diteteskan kebawah. Tetapi dugaan ini meleset. Para kapital semakin memperbesar “bola salju”-nya (baca : kapital). Sebaliknya, masyarakat yang lemah kemampuannya cenderung tidak mendapatkan perhatian pemerintah dan tergilas oleh bola salju itu.

Akibatnya terjadi ketidakmerataan kesejahteraan masyarakat, kesenjangan sosial yang semakin meruncing, dan tentunya berimbas pada aspek kehidupan yang lain. Apa gunanya grafik saham yang sering dipertotonkan tetapi tidak sejalan grafik kesejahteraan masyarakat.

Pada titik inilah diperlukan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi tinggi dengan pemerataan hasil pembangunan yang berbasis kepada masyarakat kelas menengah kebawah dan pelaku usaha kecil menengah dan mikro (UMKM).

Perkuat Kerjasama

Terwujudnya kota yang ideal baik secara fisik, ekonomi maupun sosial dibutuhkan tekad yang besar dengan membangun sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat. Sinergisitaas menjadi penting untuk mencegah tarik ulur kepentingan yang pada akhirnya bisa melemahkan koordinasi.

Solo, ketika di tampuk kekuasaan Joko Widodo, berhasil membangunan kotanya, karena sinergisitas dan koordinasi lintas masyarakat dan jajaran pemerintahan. Berbeda dengan kondisi Kota Bogor misalnya.

Pada tahun 2016, Bogor merupakan kota ke-2 terburuk untuk berkendara di dunia setelah Cebu, Filipina menurut aplikasi navigasi dan lalu lintas Waze. Dengan indeks kepuasan diangka tertinggi 10, bogor mencatat indeks 2,1 dengan rengking 185 dari 185 kota di dunia.

Indeks kemacetan 3,2 kualitas jalan 2,6 dan ekonomi sosial 1,1. Sedangkan kota Cebu rangking pertama dengan indeks kepuasan 1,1 atau terburuk  dari hal kualitas jalan, lalu lintas dan keselamatan. Peringkat ke-3 ada San Salvator di El Savador.

Studi ini berdasarkan pada pengalaman 20 ribu pengguna aktif perbulan dari aplikasi Waze di 38 negara dan 235 kota yang menganalisa enam faktor yaitu; lalu lintas, kualitas, keamanan jalan, servis pengemudi, sosial ekonomi,dan kebahagiaan serta saling bantu antar komunitas penggunaan Waze (CNN Indonesia, jumat 16/09/2016).

Selain kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas, di seputaran Kebun Raya Bogor (KRB) beberapa titik masih terpampang jelas kawasan permukiman kumuh dan bangunan liar serta bangunan tidak layak huni di sepanjang daerah Aliran Sungai (DAS) ataupun lintasan CRL.

Kemudian bangunan-bangunan tanpa mengantongi Izin mendirikan Bangunan yang masih menghiasi Kota Bogor hingga saat ini masih menjadi problem. Hal ini menunjukan akselerasi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian yang belum optimal oleh intansi-instansi terkait.

Pola pendekatan yang  dilakukan pun cendrung ‘TOP DOWN’ bukan BOTTOM UP’.  Kenyataan bahwa kecenderungan perilaku birokrasi yang ‘nakal’ dan mudah diintervensi oleh penguasa modal menunjukan lemahnya sistem birokrasi yang ada.

Intesitas dialog bersama masyarakat merupakan hal yang harus menjadi prioritas. Artinya, problem pembengunan sebuah kota tidak hanya berbasis imaji pemerintah tetapi akumulasi pendapat masyarakat yang disinkronkan dengan strategi pemerintah.

Di Singapura, masalah pembangunan justru akan menciptakan peluang yang mampu merubah arah pembangunan kota tersebut. Paradigma seperti ini semestinya menjadi spirit pembangunan kota di Indonesia. Sehingga siapapun yang terpilih menjadi pemimpin masyarakat selanjutnya dapat mengemban amanah rakyat dan berani berpihak pada kaum tertindas, termarginalkan, dan kaum miskin kota.*

RELATED ARTICLES

Most Popular