Jakarta, Verbivora.com – Realitas ekonomi politik, sosial budaya dan teknologi terus dinamis, namun ironisnya manusia justru tak mampu melihat jauh keberadaannya sebagai unsur vital yang bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan alam tempat manusia bernaung.
Sifat serakah manusia abad milenium ini kerap berpikir bahwa manusia adalah tuan yang berkuasa atas alam dan berhak monopolinya. Dalam konteks berbangsa dan bernegara kita mengakui “bertanah air satu, tanah air Indonesia” yang dengan bangga kita sebut ibu Pertiwi.
Ibu Pertiwi dianggap sebagai sebuah perwujudan tanah air Indonesia, atau dikenal dengan istilah personifikasi nasional untuk negara Indonesia. Sejak masa prasejarah, berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara sudah menghormati roh alam dan kekuatan bumi, mereka mengibaratkannya sebagai ibu yang memberikan kehidupan, sebagai dewi alam dan lingkungan hidup.
Mencermati langgam filosofi diatas dapat kita artikan bahwasannya tanah air Indonesia yang kita sebut sebagai Ibu Pertiwi adalah entitas sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam yang menyatu dengan masyarakatnya. Hamparan hutan tropis luas dan hijau juga sekaligus mengantongi julukan Ibu Pertiwi sebagai paru-paru dunia.
Oleh karena itu dalam tataran konsep, pengelolaan sumber daya alam harus secara amanah, bertanggung jawab dan menjunjung tinggi kaidah keselarasan dengan alam.
Sebagaimana yang diejewantahkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 4: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Para ahli menempatkan harapan hutan tropis Indonesia sebagai solusi yang mampu mengatasi krisis perubahan iklim dunia saat ini, namun justru Indonesialah yang menghancurkannya. Dengan dalil pembangunan ekonomi, Indonesia memboyong daftar negara dengan aktivitas deforestasi dan pembakaran hutan terbesar.
Hal ini diperjelas pada tahun 2019 tercatatat Indonesia mengalami bencana kebakaran hutan yang cukup besar. Dari hasil analisis Greenpeace, 3.403.000 hektar lahan terbakar antara tahun 2015-2018 dimana beberapa perusahaan ternama dunia berada di balik kebakaran hutan yang telah memicu perubahan iklim.
Angka kebakaran hutan maupun pembukaan lahan yang tidak bertangung jawab di Indonesia tentu tidak boleh diabaikan begitu saja, karena pengaruhnya akan sangat fatal bagi keberlangsungan hidup dan perubahan iklim yang berakibat pada rupa-rupa bencana Indonesia ini maupun berdampak bagi negara lain di belahan dunia.
Secara geografis Indonesia terletak diantara dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta berada di antara Samudera Hidia dan Samudera Fasifik, Indonesia juga terkenal akan hutan hujan tropisnya.
Kondisi geografis yang berada di garis khatulistiwa, menjadikan Indonesia rumah bagi berbagai jenis flora dan pohon-pohon besar. Pohon-pohon inilah yang menjadi penghasil oksigen terbesar bagi makhluk hidup.
Dikutip dari D Triana – ReTII, 2017 – journal.itny.ac.id tentang mitigasi bencana, melalui pendekatan kultural dan strukutural bencana, kondisi geografis Indonesia juga mengakibatkan Indonesia rentan terhadap bencan alam, hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara yang berada pada kawasan geologis cincin Asia Fasifik atau Ring of Fire, hal ini yang mengakibatkan Indonesia rawan bencana seperti gunug berapi.
Indonesia juga merupakan titik pertemuan lempeng Fasifik, Euroasia dan lempeng Indo-Australia (lempeng Tektonik). Lempeng Hindia Australia yang bergerak ke utara dan menunjam ke bawah karena bertubrukan dengan Lempeng Euroasia.
Di bawah laut sebelah barat Sumatera terus sampai di selatan Pulau Jawa Hingga Nusa Tengara Timur dan membelok ke utara , kemudian dari arah timur lempeng Fasifik bergerak ke arah barat menunjam kebawah lempeng Euroasia di daerah laut Banda-Halmahera (teori Plate Tectonic).
Daerah jalur penunjaman lempeng tektonik disebut subduction zone yaitu jalur sabuk gunung api. Dampak dari tumbukan lempeng tersebut adalah erupsi gunung berapi, tanah longsor, gempa bumi dan tsunami.
Ancaman Krisis Ekologis Indonesia di Masa Depan
Hemat penulis, jika kita tidak sadar akan bahaya krisis ekologi dan memperhatikan aspek kedudukan geologis secara cermat serta menekan laju perikalu produksi dan komsusmsi yang tidak ramah lingkungan, maka di masa depan Indonesia akan menghadapi berbagai ancaman.
Pertama, terdegradasinya nilai-niai luhur Indonesia sebagai indentitas negara agraris dan negara maritim, di mana kondisi krisis iklim tersebut akan berpengaruh kepada cuaca buruk yang sulit untuk diprediksi sehingga berdampak pada produktivitas nelayan dan petani yang tergantung pada cadangan alam dan jasa ekosistem dalam memproduksi pasokan bahan pangan.
Nelayan dan petani juga akan sulit untuk beradaptasi dengan perubahan iklim atau menghadapi bencana alam sehingga mereka tidak memiliki kegiatan keuangan yang stabil dan pelayanan sosial yang terbatas. Hal ini akan memicu mereka untuk berurbanisasi dan menjadi buruh dengan bayaran murah.
Kedua, akan tercipta jurang kesenjangan sosial, jika sebagian nelayan dan petani pada akhirnya memutar haluan untuk menjadi buruh dengan bayaran murah di perusahaan. Hal tersebut justru akan mendukung proses konglomerasi dan sistem ekonomi kapitalisme liberalisme yang eksploitatif, Sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Ketiga, Indonesia akan menjadi negara importir pangan sepanjang tahun, karena iklim tidak menentu, yang menyebabkan penurunan produktifitas para petani seperti gagal panen dan alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan monokultur (sawit khususnya), tambang dan infrastruktur akan mempengaruhi penurunan produksi pangan, maka Indoesia akan menjadi negara pengimpor pangan.
Keempat, Indonesia akan menjadi langanan bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, gunung berapi, tsunami dan pertikaian memperebutkan akses air bersih.
Perlu Langkah Preventif
Agar khazanah alam dan ruang hidup manusia tetap terjaga keberlanjutannya maka ada beberapa hal penting yang harus kita perhatikan.
Pertama, kita harus meliliki gaya hidup yang ramah linkungan atau memiliki paradigma ekosentris yang menempatkan manusia bukanlah sentral dari segala makluk hidup. Dengan memiliki paradigma dan gaya hidup yang ramah lingkungan, maka akan sangat mudah untuk kita mengontrol gaya apa yang kita komsumsi dan produksi.
Kedua, pentingnya berwawasan Nusantara atau geopolitik. Dengan kita memahami geopolitik maka kita akan memiliki cara pandang dan cara bersikap yang baik berdasarkan geografis serta lingkungan tempat kita berada .
Hal ini juga akan berpengaruh kepada tindakan yang akan kita ambil dan strategi apa yang akan kita buat. Sehingga kita dapat proaktif terhadap pola-pola pembangunan ekonomi dan juga tata ruang yang berbasis pada keadilan ekologis.
Ketiga, pemerintah harus menempatkan alam dan manusia sebagai satu kesatuan utuh yang setara dalam pola-pola kebijakan pembangunan, dalam hal ini pemerintah tidak boleh melihat alam hanya sebatas fungsi ekonomis atau sebagai komoditas semata.
Pemerintah juga harus mengontrol ruang-ruang operasional swasta dan berani menindak pelaku pembalakan liar, pembakaran hutan dan lahan secara tegas serta berani mengungkapkan keterlibatan mafia alih fungsi hutan dan aparat penegak hukum yang terlibat di dalamnya.
Keempat, negara perlu menciptakan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai pusat krisis nasional yang berkerja dalam suatu sistem manejemen nasional, bersifat siaga dan tangap yang bertugas untuk mendeteksi dini (warming Sistem) yang dalam kerjanya melibatkan semua lembaga negara yang saling berkaitan dan bersinergi.
(Presidium Pendidikan Dan Kaderisasi PMKRI Cabang Jakarta Pusat Periode 2020-2021: Joshua A.K.P.Florisan)