Foto. Dok. Pribadi |
Oleh: Tedy Ndarung*
Pernyataan yang disampaikan oleh Rocky
Gerung, pengamat politik tentang “kitab suci adalah fiksi” telah banyak
menimbulkan perdebatan yang luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain
pernyataan kontroversial ini ada nilai tambahnya karena hampir pasca ILC
tanggal 10/04/2018, banyak terjadinya diskusi di kelompok-kelompok kecil dalam
masyarakat. Setidaknya Rocky sedang menularkan cara berpikir yang
kritis-rasional kepada publik. Perdebatan ini merupakan sumbangan bagian
akademis yang berbobot, dari pada rakyat selalu diperdengarkan dengan diskusi
tentang korupsi dan kriminalitas lainnya. Rakyat bosan. Namun, pernyataan Rocky
ini kurang taktis sehingga dianggap aneh. Dalam hal ini Thomas More, filsuf
sekaligus teolog dalam tugasnya sebagai pengacara mengatakan bahwa jangan
meninggalkan kapal dalam badai karena anda tidak dapat mengarahkan angin. Dan
jangan memaksakan ide-ide aneh dan belum teruji kepada orang yang anda ketahui
telah meyakinkan ide yang lain (Anne Murphy, 2001: 44).
Pada Rabu, 11/04, Cyber Indonesia
melaporkan Rocky ke Polda Metro Jaya atas dugaan menyebabkan kebencian antar
umat beragama. Upaya pelaporan ini mempunyai kisah singkat. Semuanya berawal
dari Rocky yang menunjukan sikap respeknya untuk memenuhi undangan sebagai
narasumber di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang merupakan acara tolkshow
yang disiarkan di tvOne. Namun, sangat disayangkan ketika dimintai pendapat
oleh Karni Ilyas sebagai tuan rumah atau pemandu ILC, di situlah Rocky Gerung
mengeluarkan kalimat yang disebut oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang
kontroversial atau salah. Dan masalah baru pun dibuka.
Rocky Gerung
mengeluarkan pernyataannya tentang kitab suci adalah fiksi dengan tujuan untuk
menjernihkan pemikiran publik tentang diksi “fiksi”. Rocky menjelaskan diksi
fiksi untuk menanggapi pernyataan Prabowo tentang Indonesia yang bubar tahun
2030. Dan pernyataan Prabowo ini diambil dari sebuah karya fiksi, yaitu novel
yang berjudul “Ghost Fleet”, ditulis
oleh dua ahli strategi Amerika. Di dalam novel tersebut mengambarkan sebuah
skenario tentang perang China dan Amerika tahun 2030. Dan hal menarik di dalam
novel tersebut bahwa tahun 2030, Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.
Selain itu, Rocky Gerung menjelaskan
pengertian kata fiksi karena prihatin dengan kondisi publik yang salah
mengartikan kata fiksi. Dua bulan terakhir ini kata fiksi mempunyai makna yang
negatif. Dan ini sangat berbahaya pada generasi penerus bangsa, di mana dengan
menanamkan fiksi sebagai yang negatif maka generasi berikutnya tidak lagi
membaca fiksi. Rocky menjelaskan bahwa fiksi itu berbeda dengan fiktif. Kalau
fiktif itu berarti bohong. Dan fiksi memiliki makna yang positif, fiksi membuat
manusia mampu berimajinasi. Hemat saya, fiksi dalam alur pemikiran Rocky adalah
sesuatu yang belum terjadi namun masih dalam proses berimajinasi. Sedangkan
fiktif adalah sesuatu yang sudah terjadi karena artinya bohong. Orang tertentu
mengetahui hal tertentu sebagai bohong mengandaikan sudah terbukti. Nah,
kembali ke persoalan Indonesia Bubar. Pernyataan Rocky menurut pengertian kata
‘fiksi’ yang disampaikannya, sangat jelas mengafirmasi apa yang di sampaikan
oleh Prabowo berdasarkan kutipan dalam karya fiksi, novel Ghost Fleet bahwa pada tahun 2030 Indonesia tidak ada lagi. Jadi,
pernyataan prabowo sebagai fiksi adalah benar adanya. Pernyataan Prabowo sampai
pada penjelasan ini sudah clear.
ILC
Sebagai Ruang Dialog
Eksistensi ILC merupakan acara yang
berusaha untuk menampilkan dialog mengenai masalah hukum dan kriminalitas
dengan tujuan untuk mencari solusi atas masalah-masalah yang ditampilkan.
Namun, pernyataan Rocky tentang kitab suci adalah fiksi di ILC menuai persoalan
baru. ada beberapa pokok penting yang harus dipahami bersama, yaitu pertama, ILC sebagai “ruang dialog”. Hal
yang perlu diingatkan bahwa dialog yang ditampilkan dalam ILC adalah dialog
yang rasional bukan dialog ‘iman’. Dasar terdalam dari sebuah dialog rasional adalah
kebebasan berpendapat dan tetap menjaga nilai etika. Secara etis, Rocky sama
sekali tidak bersalah karena Rocky berbicara setelah diberikan kesempatan oleh
pemandu dialog. Persoalan perselisihan argumen merupakan sesuatu yang sangat
normal dalam sebuah dialog. Dan dalam statement yang disampaikan, Rocky tidak sedang
‘memaksa’ rakyat Indonesia untuk mengikuti alur pemikirannya. Kalau memang
masih ada pendapat yang lain, iya harus dihargai. Karena itulah dibutuhkan
dialog. Kalau pendapat para pakar se-Indonesia dari berbagai macam ilmu
semuanya sama, berarti dialog tidak diperlukan. Oleh karena itu berbeda
pandangan dalam sebuah diskursus merupakan sesuatu yang sangat fundamental.
Jadi, ketika ada yang mempersoalkan pernyataan yang salah dalam sebuah dialog
apa lagi sampai ke ranah hukum, hemat saya ini adalah sebuah tindakan yang
keliru dan mampu menimbulkan trauma bagi generasi bangsa, seperti ketakutan
seorang untuk berargumen dan akan berdampak pada matinya akal sehat generasi
bangsa. Pertanyaannya: apakah kita sedang berusaha untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa atau berusaha untuk menumbuhkan kedunguan bangsa? hal penting yang mau
disampaikan bahwa tidak selamanya perselisihan pendapat selalu diselesaikan di
kantor Polisi atau pengadilan. Apalagi locus
kejadian adalah ILC sebagai ruang “dialog” maka perlu dipertanggungjawabkan
pula melalui sebuah dialog.
Kedua,
persoalan kitab suci adalah fiksi. Mengikuti logika berpikir Rocky Gerung mengenai
diksi fiksi. Saya tersentak bingung dengan pihak yang menuntutnya. Logika yang
disampaikan oleh Rocky sangat jelas bahwa fiksi itu positif. Tuhan memberikan
kita fiksi untuk berimajinasi. Di sini Rocky dengan sadar mengatakan bahwa
karena kitab suci itu sesuatu yang positif maka kitab suci sama dengan fiksi.
Karena fiksi adalah positif. Namun, ketika ada yang mempersoalkan, ini mengandaikan
bahwa mereka sedang menegasikan kitab suci itu sebagai sesuatu yang negatif. Kalau
kitab suci itu negatif berarti tidak ada gunanya. Jadi yang salah di sini siapa?
Apakah Rocky yang menilai kitab suci sebagai sesuatu yang positif ataukah
ognum-ognum yang melihat kitab suci sebagai sesuatu yang negatif? Saya, memilih
kitab suci sebagai sesuatu yang positif.
Ketiga,
Pengertian kitab suci sangat mempengaruhi jawaban penggunaan kata fiksi. Kalau
kita mengartikan kitab suci sebagai sumber kebijaksanaan sempurna, sangat jelas
bahwa kitab suci sebagai sesuatu yang fiksi. Karena walaupun manusia selalu
berupaya keras untuk menggapai kebijaksanaan sempurna namun tidak ada seorang
pun yang mampu menggapainya. Tapi kalau kita melihat kitab suci sebatas sebagai
yang sacral maka logika fiksi yang
melahirkan imajinasi tidak akan mampu memahaminya kecuali dengan mata iman.
Namun sayang, ILC bukanlah ruang dialog iman.
Sebuah
Saran
Perbedaan pandangan di ILC pada dasarnya
adalah sesuatu yang wajar. Namun, ada yang merasa dirugikan karena gaya
komunikasi orang tertentu, seperti kasus Rocky Gerung. Problem ini harus
memerlukan sebuah ruang emansipatoris. Yang dimaksudkan dengan ruang
emansipatoris adalah membebaskan. Bagaimana tata kelola kehidupan bersama
(ruang dilaog) dapat memiliki relasi-relasi yang membebaskan? Habermas
menyebutnya societas itu perlu
mengajukan pola-pola relasi komunikatif interpersonal. Pola relasi komunikatif
ini disebut diskursus. Tetapi diskursus tidak mungkin dijalankan tanpa sebuah
konsensus atau kesepakatan yang berkaitan dengan bahasa komunikasi (Armada
Ryanto, 2011: 68). Oleh karena itu, untuk tetap menjaga proses dialog di ILC
yang penuh damai, hal yang perlu dipertimbangkan oleh pihak yang berwewenang
atau pemandu acara adalah membaca kembali aturan bahasa komunikasi yang baik di
ILC. Dengan demikian orang mengeluarkan pendapatnya sesuai dengan koridor yang
sudah ditentukan.
*Penulis adalah Anggota PMKRI Cabang Maumere St. Thomas
More, Angkatan
Merpati (XVIII)