Menyoal Wacana Amandemen UUD 1945 dan Irrelevansinya

Jakarta, Verbivora.com – Dalam dinamika politik hukum Indonesia proses amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan salah satu impelementasi reformasi yang terjadi pada tahun 1998. 

Politik hukum yang dimaksud disini adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan secara nasional oleh suatu pemerintah negara tertentu, atau kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan (Tundjung H. Sitabuana, 2008).

Dalam konteks ke-Indonesiaan, tujuan negara yang dicita-citakan tercantum dalam pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Menurut Marta Pigome, “Lahirnya Amandemen UUD 1945 merupakan wujud dari reformasi politik dan reformasi konstitusi yang berjalan secara demokratis.” Sebuah semangat yang muncul pasca-tumbangnya kekuasaan Orde Baru, yang berkuasa selama tiga dekade lebih. Dimana semangat ini didasari pada adanya keinginan agar konstitusi Indonesia mampu menjadi instrumen yang penting dalam mendorong reformasi hukum di Indonesia dalam mencapai tujuan Indonesia sebagai negara merdeka. 

Sejarah mencatat, sepanjang republik berdiri, proses amandemen UUD 1945 sudah dilaksanakan sebanyak empat kali. Perubahan pertama terjadi pada 19 Oktober 1999 dan berhasil mengamandemen sembilan pasal. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya 18 Agustus 2000, amandemen kembali dilakukan. Sebanyak 25 pasal diubah. Kemudian, pada 9 November 2001, 23 pasal diubah dalam amandemen. Terakhir, 10 Agustus 2002, proses amandemen turut mengubah 13 pasal, tiga pasal Aturan Peralihan, serta dua pasal Aturan Tambahan. 

Menurut Taufiqurrohman, proses amandemen dapat dibagi kedalam tiga kelompok yakni; amandemen yang menghapus atau mencabut beberapa ketentuan; amandemen yang menambah ketentuan baru; serta amandemen yang memodifikasi ketentuan yang lama. Setiap proses amandemen menghasilkan ketetapan yang berbeda-beda. Di fase pertama, misalnya, amandemen lebih berfokus untuk membatasi presiden agar tidak berkuasa dalam jangka waktu yang lama, sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru. 

Sementara di fase kedua, setidaknya ada tiga fokus yang dikerjakan: memberikan peran lebih kepada daerah melalui desentralisasi kekuasaan, menguatkan peran DPR sebagai lembaga legislatif, dan memperluas cakupan pasal-pasal yang berhubungan dengan jaminan HAM. 

Selanjutnya, di fase ketiga, amandemen ditujukan untuk mengatur posisi lembaga negara. MPR, misalnya, tak lagi memegang peran untuk memilih presiden dan wakil presiden karena proses pemilihan diubah menjadi pemilihan secara langsung. Selain itu, amandemen juga mengakomodir kehadiran lembaga baru berwujud Mahkamah Konstitusi. Lalu di fase keempat, proses amandemen hanya meneruskan pembahasan di fase sebelumnya. 

Dalam “Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasinya terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia” yang terbit di Jurnal Nasional (2010), Saldi Isra menjelaskan setidaknya terdapat tiga faktor yang melatarbelakangi amandemen UUD 1945. Faktor pertama, sejak awal, UUD 1945 memang tidak dibentuk untuk menjadi sebuah konstitusi yang tetap. 

Kedua, UUD 1945 punya fleksibilitas yang cukup tinggi. UUD 1945, tulis Saldi, bisa diterjemahkan sesuai perkembangan politik terkini serta keinginan pemegang tampuk kekuasaan. Meski begitu, Saldi berpendapat bahwa saking fleksibelnya gerak UUD 1945, ia jadi sumber dari segala masalah seperti KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) hingga potensi pemerintahan yang otoriter. 

Alasan ketiga, UUD 1945 punya kecenderungan untuk inkonsisten. Misalnya dalam ketidakjelasan konstitusi menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945, menurut Saldi, ada bermacam bentuk kedaulatan: dari kedaulatan rakyat, hukum, hingga negara.

Amandemen UUD 1945 berusaha memberdayakan rakyat yang direkontruksi dari berbagai aspek, yakni pertama, aspek penguatan lembaga perwakilan; kedua, aspek eksekkutif (proses pemilihan langsung Presiden); ketiga, aspek yudikatif (munculnya Mahkamah Konstitusi), dan yang keempat, aspek yang terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM)  (Septi Nur Wijayanti, 2009).

Implikasi dari amandemen ini lahirnya beberapa lembaga negara sebagai wujud implementasi dari amanat UUD 1945, diantaranya, lahirnya lembaga pengawal dan penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Pemberatansan Korupsi (KPK), dan beberapa lembaga lainnya. 

Wacana Amandemen 

Wacana untuk mengamendemen UUD 1945 kini kembali mencuat ke permukaan. Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengklaim telah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).  Pada saat bertemu Jokowi, Bamsoet mengaku menyodorkan perihal mekanisme pembahasan Pasal 37 UUD 1945. MPR ingin ada penambahan ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945. 

Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) serupa dengan GBHN sebelum Perubahan UUD 1945. Sementara, penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai PPHN.

Menurut Bambang Soesatyo, “Kehadiran dari PPHN diperlukan untuk memastikan potret wajah Indonesia 50 sampai 100 tahun mendatang keberadaan dari PPHN, tidak akan mengurangi kewenangan pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan nasional berlandaskan bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJP). 

PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan SPPN, RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis. Dengan PPHN, maka rencana strategis pemerintah yang bersifat visioner akan dijamin pelaksanaannya secara berkelanjutan tidak terbatas oleh periodisasi pemerintahan yang bersifat electoral.” 

Selain wacana ingin mengubah pasal-pasal yang terkait dengan penghidupan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), wacana amandemen kali ini juga keinginan merevisi Pasal  Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” 

Muncul niatan ingin memperpanjang masa jabatan Presiden dan wakil Presiden menjadi 3 periode. Wacana ini dimunculkan oleh beberapa organisasi simpatisan Presiden saat ini yang mengklaim mengkehendaki kepemimpinan Presiden Joko Widodo karena dianggap berhasil. 

Wacana amandemen ini juga pernah disinggung oleh Almarhum Rachmawati Soekarnoputri, dimana almarhum mengingini UUD1945 dikembalikan ke naskah aslinya. Ia mengatakan, “UUD 1945 sudah diamandemen sebanyak empat kali menyebabkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara kehilangan superioritasnya sehingga berjalan seperti tak memiliki kuasa. MPR saat ini ibarat macan ompong karena setelah UUD 1945 diamandemen pada 2001, fungsi MPR sudah berubah total.”

Polemik

Wacana untuk mengamendemen UUD 1945 menuai pro dan kontra di masyarakat dan menuai komentar beragam. Beberapa elit-elit politik juga turut meraimaikan komentar terkait dengan wacana ini. Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay meminta rencana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak dilakukan terburu-buru. Ia mengingatkan, amandemen konstitusi harus didasarkan pada kajian yang komprehensif. mesti ada kesepakatan dari semua fraksi dan kelompok DPD terhadap perubahan yang diajukan agar tidak ada kekhawatiran bahwa amendemen melebar ke isu lain.

Selain itu, sinyal penolakan juga datang dari berbagai partai yang menganggap wacana amandemen ini tidak urgen untuk dilakukan. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Jendral Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsy berpandangan, “rencana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tidak tepat digulirkan saat ini. Jika saat ini membahas amendemen UUD 1945 seolah tidak peka dengan situasi ini, apalagi ketika yang dibahas adalah penambahan masa jabatan presiden. Jika dipaksakan rakyat tentu akan melihat ada pihak yang lebih mementingkan kekuasaan dari pada nasib rakyat.”

Berkaca dari situasi yang terjadi hari ini, wacana amandemen yang digulirkan oleh MPR RI sesunguhnya tidak menyentuh ranah permasalahan konstitusi hari ini, sebab perubahan yang ditawarkan oleh MPR RI terkait dengan PPHN  tidaklah menjawab persoalan yang saat ini sedang terjadi di Indonesia. Dan muncul kekhawatiran wacana amandemen ini akan membuka kotak pandora yang berujung pada munculnya agenda-agenda tak terduga yang rawan politik kepentingan. 

Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa alasan, menurut Ferry Amsari, “Pembahasan ini tidak menutup peluang menjadi melebar. Meski Pasal 37 UUD 1945 membatasi hanya membahas terhadap usul yang diajukan. Tetapi perlu diketahui dalam tata tertib MPR bisa sangat terbuka usul itu untuk masuk, sehingga bisa berkembang. Tidak ada kekuatan yang bisa mencegah mereka membahas lebih jauh. Bahkan di konstitusi juga tidak diatur kalau pembahasan di luar apa yang diusulkan apakah itu membuat konstitusi yang disahkan tidak sah atau tidak berlaku.” 

Ketakutan akan adanya pembahasan yang melebar ketika wacana amandemen ini direalisasikan adalah politik transaksional, adanya penguatan kelembagaan yang akan mengancam tatanan check and balances, yangmana keputusan ini akan menguntungkan segelintir orang atau partai politik dan dikhawatirkan akan melanggengkan  kekuasaan. Dimana keputusan ini akan menjadi kado terburuk bagi rakyat Indonesia yang saat ini tengah berjuang melawan pandemi Covid-19. 

Terkait dengan PPHN yang menjadi dalil utama MPR RI ingin mengamendemen UUD 1945 sesungguhnya tidak lagi relevan dengan sistem ketatanegaraan kita yang sudah mengalami banyak perubahan dengan menguatnya sistem pemerintahan yang presidensial. MPR RI kiranya tidak perlu sibuk memperjuanggkan PPHN ditengah adanya RPJM dan RPJP. 

Pakar Hukum Tata Negara  Bivitri Susanti mengatakan, “PPHN yang diingkinkan oleh MPR terlalu ketinggian, sehingga tidak fleksibel dan akan banyak implikasi negatif untuk kebijakan teknis. Padahal namanya penyelenggaraan negara sudah cukup teknis, kalau mau yang tidak cukup teknis sudah ada juga, yaitu UUD 1945 dan Pancasila. 

Oleh karena itu, di tengah pandemi Covid-19 yang telah mengakibatkan banyak masyarakat mengalami kerugian dan penderitaan dan di tengah kebijakan pemerintah yang belum maksimal dalam menangani pandemi, kiranya keinginan untuk mengamendemen UUD 1945 dapat disingkirkan dengan fokus terhadap upaya-upaya pemulihan masyarakat yang sampai saat ini banyak yang kehilangan sanak sauadaranya, kehilangan mata pencaharian. 

Sebaiknya MPR RI hentikan ambisinya untuk mengamendemen UUD 1945 karena hanya akan mengurus energi dan semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. MPR RI selaku bagian dari lembaga legislatif fokus kepada tugas dan fungsinya, salah satunya adalah mengawasi jalannya pemerintahan agar dapat berjalan sebagaimana mestinya bukan justru bermesraan dengan kekuasaan yang akhir-akhir ini semakin lalim. Semoga. *(AR)

Alboin Samosir, Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat PMKRI Periode 2020-2022.

Menyoal Wacana Amandemen UUD 1945 dan Irrelevansinya
Alboin Samosir, Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat PMKRI.


RELATED ARTICLES

Most Popular