Pendidikan Sebagai Jalan Pembebasan

Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Paragraf empat mukadimah UUD 1945 secara eksplisit menyebut tugas “Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”

Itu artinya, negara berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seutuhnya melalui jalan pendidikan yang memerdekakan. Menjadi bangsa yang cerdas merupakan hak warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. 

Selain itu, UUD 1945 Pasal 28C menegaskan apa yang telah termaktub dalam paragraf empat mukadimah UUD 1945: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia,” demikian bunyinya.

Bunyi pasal 28C UUD 1945 merupakan penegasan bahwa pendidikan merupakan hak warga negara dalam rangka pengaktualisasian dirinya menjadi manusia seutuhnya, manusia Indonesia yang berbudaya untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. 

Namun, hingga kini jelang 73 tahun merdeka, dunia pendidikan kita masih jauh dari cita-cita UUD 1945. Mutu dan daya saing pendidikan Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara lain berdasarkan 

hasil tes Program for International Student Assessment (PISA) dalam bidang sains, matematika, dan membaca jauh di bawah anak-anak Singapura, Vietnam, Malaysia, dan Thailand (KOMPAS, 2/5/2018). 

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebut pada tahun 2016 setidaknya terdapat 1 juta anak putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar (SD). Jika digabung antara yang tak tamat SD-SMP, maka ada sekitar 4,3 juta anak yang tidak mendapat akses pendidikan dasar 9 tahun. Angka putus sekolah yang tinggi itu berdampak pada jumlah angkatan kerja kita yakni sebanyak 40% angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan SD yang menghambat persaingan di kancah global. 

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, sekitar sepertiga penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun  hanya mengenyam pendidikan SD, yang melanjutkan hingga menamatkan sekolah lanjutan atas hanya 75 persennya, tetapi hanya sekitar 80% dari 75% itu yang bertahan sampai tamat. Artinya kesenjangan dalam dunia pendidikan kita masih merupakan pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi oleh pemerintah demi menghadapi tantangan yang ada. 

Tantangan kita

Kemerdekaan menjadi pintu gerbang bagi kita untuk masuk ke dalam alam kebebasan sejati. Bung Karno menyebut kemerdekaan sebagai jembatan emas untuk masuk kepada kehidupan sama rasa sama rata yang adil makmur tanpa penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. 

Merdeka artinya kita telah membebaskan diri dari (freedom from) belenggu penjajahan, tak hanya itu merdeka juga harus dimaknai sebagai bebas untuk (freedom for) menentukan nasibnya sendiri melalui jalan panjang pendidikan dan pembudayaan.

Meski telah merdeka dari penjajahan, kita belum benar-benar merdeka untuk menentukan ke mana arah perjuangan bangsa ini. Mutu pendidikan kita masih terseok-seok merangkak (dan mangkrak!) selama nyaris 73 tahun merdeka. Di pelosok Nusa Tenggara Timur dan Papua, sebagai contoh, banyak anak didik dididik dalam gedung sekolah tak layak pakai; beralaskan tanah, atap bocor, dinding dari sulaman kayu dan bambu. 

Jangankan memikirkan soal visi pendidikan, infrastruktur dan fasilitas pendidikan kita sangat jauh tertinggal dari kualitas pendidikan yang layak. Visi pendidikan kita hanya punya daya jangkau yang pendek, alih-alih berdaya jangkau panjang, kita masih sibuk tambal sulam arah pendidikan kita sesuai dengan isu-isu tematis yang terjadi di bangsa ini.

Misalnya, ketika isu korupsi, fundamentalisme agama, dan intoleransi menyerang Republik, pemerintah segera mengubah model pendidikan yang dimaksudkan menangkal fenomena sosial politik tersebut. Mirip seperti era Orde Baru yang menjadikan Pancasila sebagai mata ajar di sekolah demi kepentingan melawan komunisme. 

Pancasila sebagai ideologi dan way of life direduksi hanya sebagai senjata pamungkas menghadapi bahaya tersebut. Gejala ini merupakan simptom dari ketakpahaman pemerintah yang tidak punya visi jangka panjang menentukan arah pendidikan kita, alih-alih membentuk kesadaran tentang apa yang baik dan apa yang buruk, anak-anak justru diindoktrinasi seturut maunya kekuasaan.

  

Sejatinya, pendidikan merupakan sebuah proses pembudayaan manusia. Mengubah manusia  menjadi lebih manusiawi, dari yang biadab menjadi beradab. Itu yang hilang dari ruang percakapan pendidikan kita, sehingga tak ada orientasi jangka panjang dalam pemaknaan pendidikan yang lebih manusiawi. Pendidikan dalam iklim demokratis seharusnya mengantar manusia-manusianya menuju kepada kemerdekaan lahir batin.

Kemerdekaan lahir batin berarti hak kita untuk “mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Kenyataan bahwa masih banyak yang putus sekolah, sedikit orang yang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya, mayoritas warga negara yang masih tenggelam dalam lumpur kehidupan tak layak, artinya hak-hak kita belum dilaksanakan secara utuh oleh negara. 

Pendidikan tanggung jawab semua

Pendidikan merupakan hak prioritas kita sebagai warga negara hari-hari ini masih menjadi persoalan bersama. Pemerintah yang paling bertanggung jawab dalam memperbaiki wajah buruk pendidikan kita.

Sejauh ini alokasi anggaran belanja pendidikan kita terbilang besar. Dari total APBN Tahun Anggaran 2018 senilai Rp.2.220 triliun, pemerintah telah mengalokasikan Rp.444,131 triliun khusus untuk pendidikan. 

Dari Rp.441, 131 triliun Kementerian Agama mendapat jatah paling besar yakni Rp.52,681 triliun, disusul Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebesar Rp.40,393 triliun, dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebesar Rp.40,092 triliun.

Sisanya tersebar di 17 Kementerian dan Lembaga Negara, namun yang bikin kaget adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp.399,330 miliar.

Padahal, perpustakaan sebagai lumbung buku, merupakan sumber ilmu pengetahuan, seharunya mendapat perhatian yang paling besar demi membudayakan minat baca anak didik. 

APBN kita untuk pendidikan terbilang besar dan dapat mengakomodir persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan yang terjadi di bangsa ini. Selain itu, pembangunan kualitas pendidikan tak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah semata, harus pula melibatkan masyarakat dalam pengawasannya.

Tentang ini, kita bisa belajar beberapa negara yang maju dalam kualitas pendidikannya seperti Finlandia, Singapura, hingga Tunisia yang telah membuktikan bahwa reformasi pendidikan membutuhkan peran publik secara berkesinambungan (Tempo, 2/5/2018).

Paradigma tentang pendidikan sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan, hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah, perlu diubah orientasinya: pendidikan sebagai jalan pembebasan! 

Pendidikan sebagai jalan pembebasan harus menjadi budaya demi mengubah kesadaran masyarakat tentang yang baik dan yang jahat. Pendidikan sejatinya membuat orang menyadari perbedaan antara yang baik dan yang jahat. 

Hanya dengan jalan itu segala macam persoalan tematik seperti korupsi, intoleransi, fundamentalisme dapat diatasi secara menyeluruh karena model pendidikan yang menyentuh langsung ke kesadaran setiap individu.   

Oleh: Rinto Namang (Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI)

RELATED ARTICLES

Most Popular