Jakarta, Verbivora.com – Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) Bidang Hubungan Internasional, menggelar webinar internasional dengan topik “dampak kritis Afganistan terhadap politik dan keamanan Indonesia, Jumat (27/8/2021).
Webinar tersebut mendapat apresiasi dan dukungan dari banyak pihak yang hadir, umumnya berasal dari kalangan mahasiswa, akademisi, pengamat, aktivis dan masyarakat umum lainnya.
Antusias peserta webinar sangat tinggi dapat dilihat dari keaktifan para peserta webinar, dalam menanggapi dan memberikan ide tentang stabilitas politik dan keamanan Indonesia akibat dampak krisis yang terjadi di Afghanistan.
Acara ini dimoderatori oleh Artinus Hulu (Sekretaris Fungsi Hubungan Internasional Pengurus Pusat GMKI dan doa pembuka dibawakan oleh Elfrida Hutasoit.
Adapun pemateri pada diskusi tersebut yakni; Bapak Dr. Rizal Sukma (Mantan Duta Besar Indonesia untuk Inggris Raya Merangkap Irlandia)
Bapak Prof. Hikmahanto Juwana S.H., LL.M., Ph.D (Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani dan Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI)
Bapak Prof. Dr. Indria Samego, MA.Ph.D (Pengamat Politik dan Peneliti Senior LIPI ) dan bapak Firman Jaya Daeli (Ketua Dewan Pembina PUSPOLKAM Indonesia).
Pada pemaparannya, Rizal sukma menjelaskan bahwa kehadian Taliban di Afghanistan sejak tahun 1996 hanya bertahan dalam beberapa bulan saja, sehingga negara ini berada dalam okupasi Amerika dan sekutunya. Ketika Presiden Donald Trump melakukan perundingan dengan pemerintah Afghanistan pada tahun 2020, bahwa Amerika akan keluar dari Afghanistan.
Menurutnya, tepat setelah pelantikan presiden Joe Biden memutuskan Amerika keluar dari Afghanistan pada akhir bulan agustus. Menariknya adalah bagaimana posisi Indonesia dan kaitannya pasca krisis di Afghanistan, serta keluarnya Amerika dari Afghanistan.
“Ada 3 partisipasi Indonesia untuk Afghanistan yaitu; pertama, kita membantu Afghanistan dari sisi capacity building, kedua, membantu dibidang education dan ketiga, Indonesia terlibat dalam peace bulding,” papar Rizal.
Keterlibatan kaum perempuan dalam mewujudkan perdamaian di Afghanistan serta peran para ulama, sangat penting untuk mengkondusifkan keadaan Afghanistan. Oleh karena itu, krisis Afganistan membutuhkan domestic support dari berbagi negara.
“Sisi lain, Indonesia perlu antisipasi pergerseran prioritas Amerika di kawasan indopasifik dan Indonesia tidak perlu terburu-buru masuk dalam perdebatan mengakui Taliban,” terangnya.
Baca juga: Pengurus Pusat GMKI: UU Otsus Bukan Kehendak Masyarakat Papua
Selain itu menurut Prof. Hikmahanto Juwana, Taliban sudah menguasai wilayah Afghanistan, tetapi sampai hari ini Taliban masih belum membentuk pemerintahannya, sebab di dalam Taliban sendiri juga banyak faksi.
“Jadi, pemerintahan sekarang di Afghanistan belum ada. Oleh karena itu, Indonesia tidak perlu buru-buru mengambil sikap. Memang banyak yang bilang, Taliban sekarang sudah berubah tidak seperti dulu lagi,” ujarnya.
“Menurut saya, ini bisa kita lihat bagaimana masyarakat disana merasa takut dan tidak tenang, maka dari itu kita sudahi perdebatan mengenai Taliban. Indonesia tidak punya kendali atas Afghanistan, kita harus menghormati setiap proses yang terjadi disana. Setiap negara punya kedaulatannya sendiri, tambah Juwana.
“Betul, bahwa apa yang terjadi disuatu negara akan berdampak bagi Indonesia. Sebab itu, kita harus punya penguatan visi negara ini seperti yang di munculkan oleh founding fathers kita untuk terus kita kuatkan di setiap generasi. Jangan sampai apa yang terjadi negara lain, menjadi inspiratif bagi kita yang hanya menimbulkan sisi negatif dan tidak ada manfaatnya bagi kita, tuturnya.
Pada pemaparannya menurut Prof. Dr. Indria Samego, Indonesia jangan terlalu buru-buru dalam mengambil sikap, sebab persoalan domestik kita masih banyak. Persoalan yang sedang kita hadapi masih pada persoalanan covid-19. Yang jelas adalah persoalanan di Afghanistan itu murni bukan persoalan agama.
“Di internal kita banyak menimbulkan reaksi yang keras, karena pergerakan yang terjadi disana selalu di kaitkan dengan persoalan agama. Akibatnya menimbulkan ketersinggungan kelompok islam di Indonesia Kondisi yang semakin keruh adanya politik agamanisasi, sehingga mempertajam dinamika dalam negeri,” imbuhnya.
“Jika kita lihat ini persoalan agama, maka akan menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak produktif. Oleh karena itu keamanan domestik, harus diperhatikan dengan serius tidak hanya sebatas retorika saja. Penting bagi kita agar tidak terlalu khawatir dengan pengaruh-pengaruh asing. Kita juga harus fokus pada persoalan kita tentang laut cina selatan, perbatasan dan keamanan, lanjut Indria.
Firman Jaya Daeli, pada pemaparannya manyampaikan, Indonesia harus menggunakan model politik bebas aktif bukan pasif. Artinya adalah kita harus aktif dalam berperan dan tidak mencampuri urusan domestik internal Afghanistan serta mempersiapkan sejumlah instrument, pemikiran dan kebijakan agar keamanan Indonesia tetap terjaga dan terbangun.
Politik domestik pasca Taliban, politik kawasan dan politik global. Taliban harus menunjukkan, bahwa mereka telah berubah secara prakmatis mungkin tidak secara ideologi, tetapi transformasi yang inklusif dan toleransi.
Baca juga: Bidang Pemberdayaan Perempuan PP GMKI Gelar Webinar Hari Anak Nasional
“Oleh karena itu, sikap pendirian Indonesia harus pada posisi kokoh dan mengukuhkan diri dalam 2 hal yaitu; pertama, membumingkan spritualitas pembukaan undang-undang dasar 1945 yang di dalamnya mengandung kebebasan, keseragaman, kemanusiaan, hak asasi manusia dan pengakuan,” tuturnya.
“Kedua, nilai-nilai pancasila melalui perundingan dan membangun keamanan Indonesia. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat dan bangsa Indonesia, sebaiknya menunggu, melihat dan memantau proses politik domesatik Afghanistan. Dan harus memperkuat Indonesia tanpa kekerasan,” lanjut Firman.
Ketua umum pengurus pusat GMKI pada sambutannya mengucapkan, GMKI mengapresiasi kepada ibu Menteri Luar Negeri atas inisiatifnya yang cepat bersama tim dalam proses evakuasi warga negara Indonesia di Afghanistan.
“Krisis kemanusian yang menyita perhatian global saat ini adalah pandemi Covid-19 dan krisis politik di Afghanistan yang akan kita diskusikan bersama pada kesempatan ini. Afganistan sama seperti Indonesia. Sama-sama menganut negara demokrasi,” terangnya.
Namun menjadi negara demokrasi saja tidak cukup, menurut Prof Erwin Tobing di Harian Kompas 23 Agustus 2021, lalu menekankan bahwa pemerintahan dan masyarakat yang demokratis akan terwujud jika nilai-nilai demokratif benar-benar menjadi budaya.
Sebagai komunitas intelektual, GMKI dari waktu ke waktu selalu mengasah wawasan para kader baik dalam negeri maupun wawasan global, dalam konteks diskusi ini lebih tepatnya politik luar negeri.
“Sejarah mencatat bahwa isu apapun yang terjadi di Timur Tengah pasti menjadi perhatian dan mendapatkan reaksi pro dan kontra dari masyarakat di Indonesia,” tegasnya.
Sebagai penutup; apa yang terjadi diluar kiranya bisa menjadi referensi bagi kita bangsa Indonesia, agar tetap menjaga keutuhan dan kemajemukan serta menjaga nilai-nilai pancasila ujar moderator. *(AR)