Cerpen: Nikah

Foto. Dok. Pribadi

 “Tidakkah
kau lihat teman-temanmu? Rata-rata mereka sudah punya dua anak”. Setiap kali mama
mengeluarkan kalimat yang sejenis, bibirku selalu naik ke atas, kusenyumi saja.
Sudah terlalu sering. Kalau kujawab, kalimat-kalimat yang lain akan mengikut keluar.

Hari Minggu yang cerah, ku dengar suara minyak panas yang
dimasuki sesuatu yang berair, sekejap udara beraroma langusng menyelimuti
seluruh sudut rumah, harum, menggoda, tiba-tiba perut terasa sangat lapar.
Namuun, seperti biasa, seperti hari-hari yang lalu, teh manis sudah tersedia di
meja dapur. Teh manis bisa sedikit membantuku untuk menahan lapar ini.

“Pagi Ma!”
Sambil kuminum teh buatan mama. Tidak seperti biasanya, mama diam saja.
Sebenarnya ikan di kuali belum saatnya untuk dibalik, tapi mama pura-pura sibuk
membalik ikan. Mempertontonkan kepada saya bahwa dia masih disibukkan dengan
gorengannya, tidak sempat menjawab sapaanku.

Kuletakkan pantatku di kursi tua peninggalan kakek. Dulu,
waktu kakek masih hidup, kursi yang terbuat dari kayu jati yang diukir tangan
kakek sendiri ini, selalu didudukinya. Entah kenapa tidak ada seorangpun yang mau
duduk di sana selagi kakek di dapur ini. Setelah kakek pergi, ayah menggantikan
posisinya. Seperti kursi kehormatan, orang yang duduk di sana adalah laki-laki
tertua yang ada di rumah ini.

Kunikmati teh manis yang menurutku kurang manis dari
biasanya. Sambil memeriksa notifikasi yang ada di gawai baruku, kutunggu respon
mama. Ada beberpa pesan di grup whatsapp, kubuka dan kulewatkan begitu saja
tanpa membaca satupun. Tiap hari, pesan-pesan yang ada di dalam tidak terlalu
penting. Tapi entah mengapa, tidak ada sedikitpun niatku untuk meninggalkan
grup-grup yang kebanyakan nomorku dimasukkan di dalam tanpa meminta
persetujuanku.

“Tek” kudengar suara kompor dimatikan, perhatianku
berpindah ke arah kompor. Kulihat mama meletakkan sendok gorengnya. Mama
mendekat ke arahku. Duduk di seberang meja, meja ini memang tidak terlalu
besar, tetapi posisi mama yang ada di seberang meja itu terasa sangat jauh.
Sepertinya mama mengambil jarak denganku. Tidak seperti biasanya.

“Cok,
si Rolan, katanya mau menikah, tadi nanguda-mu
datang ngundang!”

“Kapan mak?” Tanyaku ringan. Saya tahu maksudnya apa.
Tanpa dikasih tahu-pun, saya sudah tahu dari facebook

“Tanggal 14 Februari, pas hari Valentine.” 

Dalam hati aku tertawa, ‘tahu juga makakku ini hari
Valentine’ pikirku.

“Oooh” kujawab singkat, tetapi tidak terlalu singkat,
kubuat o-nya agak panjang. Supaya tidak terkesan cuek.

Walaupun sudah kuusahakan membunyikan o agak panjang,
tetap saja mama menganggap itu jawaban yang cuek. Ditinggalkannya aku sendiri
di meja itu, “tek” suara kompor dihidupkan.

*

Itu percakapan kami setahun yang lalu. Hari-hari berlalu,
mama tidak pernah lagi memaksaku untuk menikah. Tahun ini, adikku menyampaikan
niatnya untuk menikah, mendahului aku.

“Tunggulah abangmu dulu menikah, Tet!” Tet bukan
disingkat dari Tetty tapi butet.
Kudengar suara mama yang agak ditekan, tapi tetap saja terdengar dari kamarku.
Mereka berbicara di kamar sebelah, kamar mama.

“Sampai kapan mak? Sampai boru-mu
ini lapukan?” Butet kesal, dia merasa haknya untuk menikah, meraih
kebahagiaannya sendiri dimutilasi mamanya sendiri. Saya tidak mau menyalahkan
siapa-siapa, niat mama untuk menikahkanku segera adalah pertanda bahwa dia sayang
padaku. Niat Butet untuk menikah segera juga baik, dia punya hak untuk itu
tanpa harus menunggu abangnya menikah. Kutempelkan daun telingaku ke dinding,
berusaha mendengar percakapan mereka selanjutnya. Aku tahu, mama pasti
mengecilkan volume suaranya.

“Jangan ngomong begitulah boru, apa kata orang nanti
kalau kau langkahi si Ucok?” Mama berusaha membujuk Butet. “Kau bujuklah pula
abangmu itu biar nikah, kau kenalkan dulu kawan-kawanmu!” Bagian yang terakhir
ini, agak samar kudengar, tapi sepertinya mama mengatakan persis seperti yang
kutulis di atas. 

“Mak, dah sering kali kukenalkan teman-temanku ke abang,
memang karna nggak niat kawen kayaknya abang, masak kami harus nunggu abang
maaak!?” Suara Butet menguat, saya yakin, dia pasti sengaja, supaya saya yang
sedang menguping ini bisa dengar.

“Si Nia, suka kali sebenarnya sama abang, tapi abang
nggak ngasih respon. Si Lia juga suka, tahu apa alasan bang Ucok? Ah… masa
aku nikah sama dia Tet, dia kan Islam. Padahal si Lia sudah kutanya, gak
apa-apanya katanya. Dia mau kok, nikah sama yang beda agama. Sudah beberapa
yang kukenalkan sama abang mak, tapi, alasan bang Ucok yaaang banyakan.” Kata
‘yang’ sengaja dipanjangkan dan pada kalimat terakhir itu dikuatkan Butet lagi suaranya,
lagi-lagi biar kudengar dari sini. Sengaja memang.

*

Proposal si Butet ditolak mama hari itu. Sekarang sudah
setahun berlalu. Si Butet sudah malas minta nikah ke mama. Jam di dinding rumah
sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tidak seperti biasanya, adikku yang paling
bungsu sudah menyiapkan banyak hidangan, tidak terlalu banyak sih tapi untuk ekonomi kami yang
pas-pasan ini, lumayanlah. Dari jam 5 sore tadi, dia sudah sibuk menyapu,
melap, terakhir memasak. Meja kecil di dapur kami, penuh makanan.

“Ma, Bang Ucok, Ka Butet, makan yuk!” Teriaknya dari
dapur. Buru-buru kuketik pesan di whatsapp, kukirim ke Kepala Sekolahku. Aku
bergegas ke dapur. Dari tadi sebenarnya sudah lapar, tetapi Tini melarangku
makan duluan, katanya nunggu semua anggota keluarga di rumah dulu. Ketepatan
Butet baru selesai mandi, dia baru pulang kerja.

“Ka Buteeet, Maa…!” Dipanggilnya anggota keluarga yang
belum hadir di dapur. 

“Semangat kali kau de!?” Antara kalimat takjub dan
kalimat tanya, kusampaikan keherananku.

“Hehehe, nggak apa-apa bang, nantilah, setelah kita
makan, baru kusampaikan semua isi hatiku ini.” Sambil senyum-senyum malu
dijawabnya ketakjubanku tadi.

“Kaa….!” Tini kembali teriak, dia tidak sabar lagi. Mama
sudah duduk di posisinya, berhadapan denganku. 

“Sebentar dulu, masih sisiran aku!” Butet menyahut dari
kamarnya, terkesan kesal, tetapi tidak terlalu kentara.

“Tumben Tin!” Mama mulai angkat bicara.

“Sesekali makan sama-sama dulu kita ma, jangan sibuk
dengan urusan masing-masing terus.” Jawab Tini. 

“Iya kan bang?” lanjutnya, membuat aku sedikit terkejut.

“I, iya, betul.” Jawabku. 

“Sudah mulai bijak kau de!” lanjutku basa-basi. Sekejap
kembali perhatianku ke gawai. 

“Nah, duduklah kak!” Tini mempersilahkan Butet duduk,
persis di depannya, mereka duduk berhadapan, saya di sebelah kanannya, mama di
sebelah kirinya.

“Bang Ucoklah dulu buat doa ya!” Tini memintaku memimpin
doa makan malam. Saya yang selalu jantungan kalau memimpin doa otomatis menolak
permintaannya.

“Mamaklah!” Kulihat mama yang ada di depanku, sebentar
mata kami saling beradu.

“Kaulah Tin, kan kau yang menyiapkan makan malam ini
semua, sekalian aja kau mimpin doa!” Mama menolak dengan halus.

*

Makan malam yang sempurna. Semua memuji masakan Tini. 

“Gini ma, Bang Ucok, Kak Butet.” Dihentikannya sejenak
perkataannya. Bergantian kami ditatapnya, wajahnya tiba-tiba serius. 

Lanjutnya, “Bang Togar melamarku dua hari yang lalu, mamanya
sudah memaksa dia untuk segera menikah. Setelah kupikir-pikir dan kurenungkan
dua hari ini, ada baiknya kami memang segera menikah, mengingat hubungan kami
sudah 5 tahun lebih, dan…”

“Tin…!” Mama berusaha memotong.

“Biar Tini selesai dulu ma!” Kami interupsi mama yang
hendak memotong Tini.

“Lanjut Tin!” Setengah penasaran kusuruh Tini
melanjutkan. Kulirik Butet, ditatapnya Tini dan menganggukkan kepalanya
pertanda dia mendukung adiknya untuk melanjutkan apa yang hendak
disampaikannya.

“Tidak bisa Tin, tunggulah dulu abang dan kakakmu
menikah, baru giliranmu!” Seolah tidak ingin mendengar interupsi kami, mama
malah melanjutkan ucapannya.

Tiba-tiba kursi yang kududuki terasa dingin, bulu kudukku
berdiri. 

“Aku tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan adik-adikku
ma, biarlah mereka menentukan hidup mereka sendiri tanpa peduli aku sudah
menikah atau belum. Setahun yang lalu mama menolak keinginan Butet, sampai
Butet kehilangan semangatnya. Tidakkah mama tahu setahun ini senyum Butet
terasa hambar? Atau mama pura-pura tidak tahu? Atau tidak pedulikah mama
kalau-kalau Butet tidak ada niat untuk menikah lagi?” Terasa air mata memenuhi
bola mataku, kuseka sekali. Air mataku tidak mau berkurang, malah makin banyak.
Saya anak laki-laki satu-satunya di rumah ini, tapi saya pula yang paling
gampang mengeluarkan ari mata.

Suasana dapur hening sejenak, karena berusaha menahan
tangis, hanya hela nafas panjangku yang terdengar.

“Bukannya aku tidak mau menikah ma, aku belum cukup modal
untuk menikah. Aku hanya guru honorer di sekolah SD Negeri, gaji hanya tiga
ratus ribu sebulan, biaya makan sehari-hari saja sebenarnya tidak cukup. Memang
adik-adikku bahkan mama juga sudah selalu menjodoh-jodohkan aku dengan banyak
wanita, tapi mau kukasih makan apa istri dan anak-anakku nanti? Belum lagi
sinamot permintaan pihak calon istriku nanti, emang ada yang mau anak
perempuannya kunikahi dengan sinamot satu juta?” lanjutku. Memang tidak pernah
kuungkapkan keresahan hatiku ini, supaya beban mama tidak bertambah berat.

“Kalau dari dulu kau bilang itu Ucok, sudah selesai
masalahnya, si Butet juga tidak perlu menunda pernikahannya” jawab mama. 

“Selesai gimana ma?” tanyaku, mama selalau tidak
tertebak.

“Saya kan ada arisan Ucok, walaupun Ayahmu tidak punya
peninggalan yang bisa dijual, tapi setiap bulan kuusahakannya untuk menyisihkan
sedikit uang untuk ikut arisan, untuk biaya pernikahanmu Cok!” jawab mama. 

“Jadi Tin, sabar dulu, kau duluankan dulu abangmu dan
kakakmu ini! Gimana Cok, kau sampaikanlah niatmu untuk menikahi si Lince
pacarmu itu, masalah biaya seperti yang kau ungkapkan tadi, tidak usah khawatir
lagi!” sambung mama.

“Masih satu minggu kami pacaran ma, janganlah dulu!” jawabku
berusaha mengelak.

“Ma, bisakah kuselesaikan dulu apa yang sedang aku
ungkapkan?” Sambil beridiri dari kursinya Tini menyambar tidak mau didahului mama
lagi. 

“Oh, iya silahkan de!” Cepat-cepat kujawab sambil
menjulurkan tangan kananku ke arah Tini, agar mama tidak memaksaku lagi.

“Aku sudah hamil tiga bulan!” Belum sempat kuletakkan
tanganku ke bawah Tini menyelesaikan perdiskusian kami malam itu.

*

Mimpi-mimpi itu selalau mengganggu tidurku. Hingga 2
tahun yang lalu, kuputuskan untuk merantau ke Ibu Kota. Kutinggalkan profesi
yang tidak menjanjikan di Kampungku. Tahun ini, kuputuskan untuk pulang ke
Kampung. Telah kusampaikan niatku ke mama untuk segera menikah dengan Lince
pilihan hatiku. Bulan Desember tahun ini, semoga menjadi bulan yang penuh kebahagiaan
bagi keluarga kecil kami. Si Butet dan si Tini bisalah segera menyusul.

***


Tomson Sabungan Silalahi

Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta


RELATED ARTICLES

Most Popular