Papua, Diplomat Muda, dan Wajah Diplomasi Indonesia


JAKARTA, VERBIVORA.COM– Editorial Jakarta Post edisi 30 September 2021 mengangkat isu lemahnya diplomasi Republik Indonesia di Sidang Tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia dianggap lemah dalam menghadapi penilaian dunia internasional terhadap kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua. Salah satu titik lemah tersebut terletak pada para diplomat muda Indonesia yang dianggap kurang tepat dalam menghadapi tekanan dunia internasional terkait dengan isu pelanggaran HAM yang menjadi sorotan. 

Diplomat muda sebagai representasi wajah Indonesia

Topik ini menarik sekali untuk dibahas dari dua sisi. Di satu sisi kita bisa mendukung diplomat muda yang dikirim pemerintah Indonesia dalam Sidang Umum PBB, sedangkan di sisi yang lain kita juga bisa mempertanyakan terkait mengapa diplomat muda ambil bagian dalam membahas isu HAM yang terbilang sangat sensitif. 

Apakah pemerintah Indonesia sengaja menugaskan diplomat muda sebagai strategi untuk menghindari kritik dari komunitas internasional terkait isu HAM di Papua? Ataukah pemerintah Indonesia memang tidak menganggap masalah pelanggaran HAM di Papua  sebagai persoalan serius yang butuh atensi besar?

Memang tidak ada ukuran pasti bahwa usia menjadi suatu tolok ukur untuk menilai kemampuan seseorang. Adapun, kemampuan berarti kapasitas seorang individu untuk melakukan beragam tugas dalam suatu pekerjaan (Judge, 2009). Kemampuan diukur dari bagaimana kinerja seseorang dalam melakukan berbagai tugas dan situasi yang diharapkan. 

Jika seseorang bisa mengerjakan sesuatu dengan sangat efektif dalam situasi apapun maka orang tersebut bisa dikatakan mempunyai kemampuan yang luar biasa tanpa harus dilihat dari usianya. Begitupun dengan diplomat-diplomat muda Indonesia yang disodor untuk menghadapi penilaian internasional terkait persoalan HAM. 

Seperti yang kita ketahui, untuk menjadi seorang diplomat itu tidak mudah, harus melewati berbagai tahapan seleksi dengan persaingan yang cukup ketat. Di Indonesia sendiri, untuk jadi seorang diplomat berdasarkan ketetapan Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, calon diplomat harus mengikuti Sekolah Dinas Luar Negeri (SEKDILU) setelah diterima sebagai CPNS di Kementerian Luar Negeri. Untuk mencapai jenjang karier sebagai diplomat, calon diplomat juga harus mengikuti sekolah lanjutan lainnya setelah bertugas di luar negeri yaitu Sekolah Staf Luar Negeri (SESDILU) dan Sekolah Pimpinan Luar Negeri (SESPARLU). 

Mengingat rumitnya tahapan dan lamanya proses seleksi untuk menjadi seorang diplomat, maka kaum muda yang berhasil lolos dari tahapan seleksi merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan yang bisa menempati posisi sebagai perwakilan Indonesia dalam komunitas Internasional. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia telah memberi ruang kepada kaum muda untuk mengambil bagian dalam forum bergengsi seperti The United Nations General Assembly (UNGA) atau Sidang Majelis Umum PBB. Yang perlu dicatat adalah usia muda memang tidak bisa dianggap sebagai kurang mampu tetapi seorang diplomat yang andal terbentuk di dalam pengalaman yang panjang dengan jam terbang yang tinggi. 

Selama kurun waktu 6 tahun terakhir Pemerintah Indonesia memberikan kepercayaan penuh kepada diplomat-diplomat muda untuk mengikuti dan memberi tanggapan melalui hak jawab dalam Sidang Majelis Umum PBB. Diplomat-diplomat muda itu di antaranya adalah Nara Masista Rakhmatia di Sidang PBB tahun 2016, Ainan Nuran di Sidang PBB tahun 2017, Rayyanul Sangadji di Sidang PBB tahun 2019, dan Silvany Austin Pasaribu di Sidang PBB tahun 2020  (Detik News, 30 September 2020). Tahun ini Indonesia juga mengirim diplomat muda, Sindy Nur Fitry,  di Sidang PBB tahun 2021 (Detik News, 26 September 2021). 

Dapat dilihat bahwa, pemerintah Indonesia sangat menaruh kepercayaan penuh kepada kaum muda dalam Sidang PBB yang merupakan salah satu forum resmi Internasional. Tentu tugas yang diemban oleh diplomat-diplomat muda ini tidak mudah. Mereka pasti mempersiapkan segala sesuatu dengan baik sehingga mampu menjawab kritik dari perwakilan diplomatik Vanuatu. Namun, pemerintah Indonesia seharusnya memperhitungkan dengan matang isu yang dihadapi sehingga pada akhirnya perdebatan tersebut tidak menampar wajah kita di komunitas internasional. 

Dalam Sidang Majelis Umum PBB tahun lalu dan tahun ini, pemerintah Indonesia menurunkan seorang diplomat muda dalam menyanggah kritik yang dilontarkan oleh Perdana Menteri Vanuatu  (The Jakara Post, 30 September 2021). Strategi semacam ini dapat menimbulkan anggapan bahwa pemerintah Indonesia terlalu meremehkan kritik terkait isu pelanggaran HAM di Papua. Pemerintah Indonesia perlu mengambil tindakan yang tegas dalam upaya mengatasi masalah HAM di Papua. Isu tentang HAM bukan merupakan persoalan yang remeh sehingga butuh penanganan yang serius dan para diplomat yang berpengalaman. 

Sudah seharusnya pemerintah Indonesia merasa malu karena permasalahan dalam negeri dikritik oleh negara lain dalam forum resmi seperti Sidang Majelis Umum PBB. Karena seperti yang kita ketahui, Vanuatu mengkritik Indonesia terkait HAM di Papua bukan untuk pertama kali. 

Besar kemungkinan pemerintah Indonesia mengirim diplomat muda dalam forum resmi seperti Sidang Majelis Umum PBB alasannya merupakan strategi pemerintah agar terhindar dari kritik komunitas internasional. Namun, hal ini tidak mengubah apapun. Dalam situasi seperti ini, sangat dibutuhkan diplomat-diplomat Indonesia yang mempunyai cara-cara kreatif sehingga dapat diterima secara internasional untuk mempromosikan komitmen dan tindakan pemerintah dalam mencapai kemakmuran dan keadilan di Papua. 

Tidak menutup kemungkinan bahwa, diplomat muda  tidak memiliki cara-cara yang kreatif dalam berargumentasi. Tetapi, perlu adanya seseorang yang mampu atau memahami secara mendalam terkait isu HAM di Papua sehingga mampu menjelaskan apa yang menjadi tantangan dan seperti apa kebijakan pemerintah Indonesia terkait isu ini. 

Diplomat muda di hadapan isu HAM Papua

Dalam sidang tersebut, tentu banyak problematika yang dihadapi oleh diplomat-diplomat muda Indonesia. Salah satu kasus terbarunya adalah pada Sidang Umum PBB 25 September 2021 mengenai tudingan yang dilontarkan oleh Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman, yang mengungkit masalah Hak Asasi Manusia di Papua (Kompas, 27 September 2021). Vanuatu menjadi hambatan politik bagi misi diplomatik Indonesia di PBB karena kritiknya terhadap Indonesia. 

Dalam pidatonya, Perdana Menteri Vanuatu, meminta Kantor Komisaris HAM PBB untuk mengunjungi Papua Barat dan memberikan penilaian independen terhadap pelanggaran HAM yang terjadi. Hal ini membuat diplomat muda Indonesia, Sindy Nur Fitri, menyerang balik Vanuatu dengan mempertanyakan pemahaman Vanuatu tentang Hak Asasi Manusia.

Beberapa media Indonesia sangat mendukung bahkan bangga atas tindakan diplomat muda yang mampu membalas tudingan Vanuatu terkait isu Hak Asasi Manusia di Papua. Namun, ada juga media Indonesia yang mengkritik diplomat muda Indonesia dengan statement bahwa Papua membutuhkan lebih dari diplomat muda (The Jakara Post, 30 September 2021). 

Tentunya kritikan tersebut mempunyai alasan yang logis yaitu dengan mengirim diplomat muda dalam suatu forum bergengsi (Sidang Majelis Umum PBB atau UNGA) pemerintah Indonesia dianggap kurang serius dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Papua dan meremehkan suara orang-orang yang membela Papua. 

Ke depannya pemerintah perlu lebih selektif lagi dalam mengirim diplomatnya pada suatu forum resmi internasional sehingga negara lain bisa memahami dengan baik masalah domestik negara Indonesia dan Indonesia tidak terus menerus dijadikan bahan kritikan. Diplomat muda tentu saja bisa dilibatkan sebagai pendamping untuk menambah pengalaman dan jam terbang sehingga pada saatnya nanti akan lebih siap berduel argumentasi pada kasus-kasus yang serius.

Penulis : Putri Sukmaniara (Anggota PMKRI Cabang Jakarta)

RELATED ARTICLES

Most Popular