Beranda Opini Konsepsi Hukum Progresif Dalam Penerapan Tindak Pidana Korupsi

Konsepsi Hukum Progresif Dalam Penerapan Tindak Pidana Korupsi

0
Konsepsi Hukum Progresif Dalam Penerapan Tindak Pidana Korupsi
Konsepsi Hukum Progresif Dalam Penerapan Tindak Pidana Korupsi
Robertus Dicky Armando/ist.


Tindak Pidana Korupsi 

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, yang bermakna bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub di dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. 

Hukum memiliki arti penting dalam setiap aspek kehidupan, pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain, dan hukum yang mengatur segala kehidupan masyarakat Indonesia. 

Setiap tindakan warga negara diatur dengan hukum, setiap aspek memiliki aturan, ketentuan dan peraturannya masing – masing. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dilakukan serta apa yang dilarang. Salah satu bidang di dalam hukum adalah hukum pidana yang mengatur tentang aturan perbuatan – perbuatan tertentu yang dilarang. Sedangkan tindak pidana, merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang mana disertai ancaman (sanksi).

Salah satu tindak pidana yang menjadi sorotan di Indonesia adalah masalah korupsi. Korupsi bukanlah hal yang asing di negeri ini. Korupsi di Indonesia bahkan sudah tergolong extra – ordinary crime atau kejahatan luar biasa karena telah merusak, tidak saja keuangan negara dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah meluluhkan pilar – pilar sosial budaya, moral, politik, dan tatanan hukum keamanan nasional. 

Dalam masyarakat, praktik korupsi ini dapat ditemukan dalam berbagai modus dan dapat dilakukan oleh siapa saja, dari berbagai strata sosial dan ekonomi. Tentunya ada begitu banyak kasus korupsi di Indonesia yang merugikan negara dan bangsa. 

Terkait dengan penegakan korupsi, Minggu, 23 Februari 2020 (detiknews) Jakarta – Indo Barometer kembali mengeluarkan hasil survei tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Versi Indo Barometer, kepercayaan publik terhadap KPK turun. Posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang dipercayai publik berada di urutan ke empat. Hal itu mengalami penurunan.  

Indonesia sebenarnya telah memiliki peraturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sejak tahun 1971, yaitu Undang – Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun karena peraturan ini dianggap sudah tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat maka terbitlah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian direvisi melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 pada beberapa pasalnya. 

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 menjelaskan bahwa setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selanjutnya pada pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 juga menjelaskan tentang perilaku koruptif melalui penyalagunaan wewenang.

Adanya Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) menjadi harapan bagi bangsa Indonesia dalam memberantas korupsi, namun pemberantasan kasus korupsi tetap mengalami kesulitan, langkah – langkah pemberantasaanya tersendat – sendat sampai sekarang. 

Korupsi sudah merupakan penyakit yang telah kronis menjangkiti dan belum dapat disembuhkan hingga saat ini yang menyebar ke seluruh sektor pemerintah bahkan sampai ke perusahaan – perusahaan milik negara.

Regulasi tentang korupsi, yakni Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai cikal bakal pembentukan pengadilan Tipikor yakni Undang – Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengandung materi dan spirit pemberantasan korupsi yang sangat tinggi, namun regulasi yang cukup memadai dan kuat tidaklah cukup untuk memberantas korupsi di tengah praktik korupsi di negeri ini yang semakin menggurita. 

Praktik korupsi di negeri ini sudah berlangsung sistematis dengan menggunakan modus konvensional sampai dengan modus super canggih. Karena itu, sangat dibutuhkan para aparat penegak hukum, mulai kepolisian, kejaksaan, sampai pengadilan yang memiliki spirit pemberantasan korupsi yang tinggi dan memiliki pemahaman dan penerapan hukum progresif.

Proses penegakan hukum pidana yang dimuali dengan upaya penyidikan yang dilakukan oleh Polri tidak hanya berdasarkan pada selesainya berkas perkara saja, namun didasarkan pada nilai – nilai keilmiahan. Yang selanjutnya diterapkan dalam proses penyidikan melalui serangkaian proses yang dinamakan dengan scientific investigation

Proses yang dimaksudkan bukan hanya terbatas kepada pemanfaatan kepada berbagai macam tekhnologi pendukung yang ada namun juga kepada penerapan berbagai macam perkembangan teori – teori hukum dalam mencari dan menemukkan alat bukti dan fakta hukum. 

Konsepsi Hukum Progresif Dalam Penerapan Tindak Pidana Korupsi

Hukum Progresif 

Sebagai upaya dalam menangani tindak pidana korupsi, maka perlu adanya konsepsi hukum progresif. Menurut Urfan, hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang paling menarik dalam literatur hukum Indonesia saat ini. Hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum. 

Hukum progresif memahami konsep keadilan sebagai hukum yang benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang baru untuk tercapainya keadilan. Selain keadilan, perlu tercapainya juga kepastian dan kemanfaatan hukum. 

 Dalam hal ini ketika Mahkamah Agug mengabulkan judicial review atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan. Peraturan pemerintah tersebut mengatur pengetatan pemberian remisi untuk narapidana tindak pidana khusus yakni korupsi, terorisme dan narkotika. Hal semacam ini perlu dilakukan, akan tetapi pemberian remisi bagi koruptor harus mempertimbangkan rasa keadilan rakyat. 

Dalam perkembangan hukum selanjutnya muncullah paradigma sebagian masyarakat yang melek (paham) hukum yang menginginkan adanya perubahan pola pikir para akademisi hukum, terutama pola pikir penegak hukum agar dalam menegakkan hukum jangan hanya selalu mengacu kepada bunyi dan teks undang-undang, tetapi diharapkan adanya terobosan cara berpikir yang lain karena hukum bekerja berdasarkan panduan sebuah peta yang disodorkan kepadanya. 

Peta tersebut menentukan bagaimana suatu sistem hukum mempersepsikan fungsinya dan bagaimana selanjutnya hukum akan menjalankan pekerjaannya. Perubahan dalam peta panduan tersebut menimbulkan perubahan pula dalam fungsi dan bekerjanya hukum.

Hal ini menarik dibicarakan karena hukum progresif telah menggugat keberadaan hukum modern yang telah dianggap mapan dalam berhukum selama ini. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dsar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyadarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. 

Penelitian Bank Dunia (Menciptakan Peluang Keadilan – Terobosan dalam Penegakan Hukum dan Aspirasi Reformasi Hukum di Tingkatan Lokal, 2005) melaporkan tentang jalannya hukum ditingkatan lokal dan pelosok Indonesia yang penuh kreativitas. 

Jaksa, polisi, dan hakim kecil di pelosok, atas prakarsa sendiri, melakukan hal – hal di luar job description mereka yang formal dan konvensional. Mereka berusaha menjadikan tugas mereka lebih efektif dari pada hanya berhenti mengikuti petunjuk formal. Penyelesaian perkara menjadi lebih cepat dan pendek meski tetap didasarkan pada hukum yang ada. 

Dalam menangani masalah korupsi, penegak hukum  dituntut untuk menggali nilai – nilai yang merupakan norma yang berlaku di masyarakat, artinya tugas penemuan hukum merupakan tugas istimewah bagi seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. 

Setiap hakim selalu ditantang untuk menemukan hukum yang tepat untuk mengadili dan memutus suatu perkara seperti diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 menegaskan sumber hukum Indonesia tidaklah selalu aturan tertulis tetapi juga hukum yang berupa nilai – nilai yang berlaku di masyarakat. Harapan tersebut lebih menekankan tujuan hukum yang dilaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakan hukum progresif dan keadilan bagi masyarakat Indonesia. 

Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut di atas terjadilah perubahan paradigma hukum yang selama ini dianut oleh penegak hukum terutama kepada sang pengandil hakim yang terjadinya berpikiran legal positivistic berubah menjadi berparadigma hukum progresif dalam hal inilah yang banyak didambakan yustisiaben (pencari keadilan) yang selama ini banyak merintih dan menjerit melihat teks perundang-undangan yang dianggap lebih banyak ketidakadilan terhadap mereka. *(AR)

Oleh: Robertus Dicky Armando.