Malang, Verbivora.com – Sejarah telah mencatat bahwa asal usul dari sistem kerja manusia adalah perbudakan. Ratusan ribu tahun yang lalu manusia sudah dinobatkan sebagai makluk ekonomi (homo economicus).
Setelah meningkatnya kebutuhan perut manusia, lahan pertanian (alam produktif) sejak itu pula embrio, watak manusia sebagai serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Manusia yang kuat dan menang dia menjadi penguasa sekaligus penghisap nasib manusia lain.
Perbudakan lahir sebagai dominasi kelas yang kuat dan mampu menaklukan manusia diwilayah dan daerah lain seiring dengan runtuhnya primitifisisasi sistem kerja/pola produksi manusia.
Transisi dari sistem perbudakan ini membuat manusia harus kembali memodernisasi cara dan pola memperbudak manusia lain cukup dengan mengubah diksi budak dengan diksi buruh (budak modern).
Perbudakan runtuh, ditandai dengan pemberontakan kaum budak dan kemenangan dari kelompok kuat untuk terus mendominasi dan menjaga dominasi penghisap dengan cara yang lain yang disebut feodalisme.
Dalam sistem feodal, budak tak lagi budak seperti halnya pekerja primitif tetapi mereka ikut terbawa arus peradaban yang dikenal dengan petani/pekerja tanah. Masyarakat masih tetap kehilangan kekuatan dan kekuasaan karena sentral pengendali kekuasaan dipegang oleh kelas-kelas lord (kaisar/raja) dan penguasa kelas kedua (bangsawan).
Petani diperas dan dipekerjakan secara paksa oleh raja melalui penguasa lokalnya dengan penarikan upeti yang tinggi dan penghasilan yang besar. Petani hanya menikmati sisa yang diberikan oleh lord dan vassal (penguasa dan penghisap).
Petani tak ada ruang untuk bebas dan bergerak sekaligus memberontak. Sebab kelas raja dan bangsawan dilindungi oleh manusia-manusia bersenjata/ksatria (knights). Yang melawan akan dibunuh tanpa ampun.
Peradaban semakin maju dan terbuka, feodalisme runtuh dan rontok, kemudian keadaan berubah tetapi watak dan pola penindasan (perbudakan modern) diambil alih oleh saudagar/pedagang/pemodal dan kemudian mengambil alih kekuasaan dan kekuatan dengan mengubah pola kerja petani atas tanahnya menjadi buruh(pekerja) karena tanahnya harus diambil alih dan dirampas oleh pemilik modal bahkan dengan cara kekerasan.
Disinilah petani masih diasingkan menjadi makluk/manusia yang bergantung pada pemilik modal (industri).Hidup dan mati mereka bukan lagi soal tanah tapi ketergantungan langsung pada industri. Mereka terpaksa harus bergantung pada industri kalau tak kerja ya mati (baca: rezim kapitalisme).
Kembali ketopik “proyek geotermal” yang ada di NTT khususnya manggarai, adalah awal dari jurang kehancuran dan perbudakan di era modern.
Ketika kondisi masyarakat feodal (agraris) hari ini dihancurkan dan dilengserkan secara paksa, menandakan ada signal perbudakan yang sengaja didesain untuk menjerumuskan masyarakat ke jurang perbudakan modern yang disebut buruh.
Kita ketahui bersama bahwa kehidupan masyarakat NTT khususnya Manggarai, pada dasarnya mendefinisikan kesejahteraan, ketenangan batin dan keadilan secara fundamental itu lahir dari keadaan dan kondisi ekonomis mereka yang tumbuh dan hidup atas tanah mereka (petani dan pekebun) sebagai kondisi masyarakt mayoritas.
Petani dan pekebun dua-duanya hidup dalam kedamaian dan ketentraman. Hasil dari komoditi dan kekayaan alam mereka bisa menghantarkan anak dan cucunya di dunia pendidikan yang berujung pada kesuksesan dan kemakmuran.
Mereka bertahan dan hidup bahagia tanpa bergantung pada kekuatan modal (uang/geotermal) dari investor. Para petani dan pekebun bekerja secara mandiri dan tidak di bawah tekanan siapapun (under pressure) alias menjadi pesuruh orang berduit.
Disini secara tegas dan jelas, dalam keadaan masyarakat agraris, menuntut dan memaksa mereka untuk harus menerima proyek geotermal adalah sebuah kebohongan dan kemunafikan besar dari pemodal yang berselingkuh dengan penguasa dan melahirkan perbudakan modern.
Terminologi buruh/budak modern, lahir ketika masyarakat tadi, dipaksa menyerahkan tanah dan alam mereka untuk kepentingan investor dengan segala konsekuensi masyarakat diasingkah dari lahan produksinya (tanah).
Sebelumnya mereka nyaman dan hidup damai tetapi setelah proyek geotermal mulai dibangun, keadaan mereka berubah tidak lagi bergantung pada tanahnya melainkan harus menjadi babu/budak ditanahnya sendiri (absente of lord).
Mereka kehilangan tanah, kehilangan komoditi dan kehilangan alam yang subur untuk berproduksi. Dalam keadaan yang sama mereka dituntut untuk bekerja disektor industri geotermal tak lain dan tak bukan sebagai buruh kasar/budak.
Mereka tak lagi punya kebebasan dan mereka sudah berubah menjadi robot di bawah kendali pemodal/pemilik geotermal yang disebut era-kapitalisme.
Masyarakat belum siap dan belum mampu untuk menerima itu. Suara penolakan dan perlawanan adalah jalan yang tetap untuk menghentikan perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Jangan mau jadi budak di tanah sendiri, tetaplah menjadi pejuang bahkan darah dan nyawa dikorbankan demi rakyat dan manusia. *(AR)
Balduinus Ventura – Ketua Presidium PMKRI Cabang Malang.
Gambar ilustrasi. |