Jakarta, Verbivora.com – Dewasa ini orang berlomba-lomba menyajikan suatu percakapan intelektual yang menghebohkan tanah air, baik di media cetak, stasiun TV swasta maupun negeri, begitupun golongan-golongan yang menjadikan warung kopi sebagai mimbar diskursus intelektual.
Bahkan, di media-media seperti Facebook,Whatsapp, Instagram, Youtube, Twitter dan lain lain, kerap memuat tulisan-tulisan revolusioner untuk kemajuan kesejateraan masyarakat, yang dalam artian menghapus penindasan dan eksploitasi terhadap masyarakat kelas bawah.
Untuk menjustifikasi argumen di atas, maka kita bisa melihat di Indonesia sendiri, ada sebagian mahasiswa yang kerap kali melontarkan kritikan-kritikan terhadap pemerintah, atas dasar evaluasi terhadap kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat.
Kritikan itu tdak hanya muncul dari golongan-golongan mahasiwa, tetapi datang juga dari organisasi-organisasi kepemudaan, yang pada umumnya menamakan diri sebagai pejuang keadilan.
Seperti yang terjadi pada tahun 2020 silam, yakni gerakan dari mahasiswa dan juga organ-organ pembela keadilan melakukan suatu gerakan menentang Undang-Undang Cipta Kerja atau yang di kenal dengan Omnibus Law.
Suatu undang-undang yang menuai kontroversi di tengah publik, yang di anggap lebih berpihak pada kaum pemodal, meskipun pada akhir gagal karena Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sebagai legal standing pembatalan undang-undang tersebut.
Indonesia mengalami suatu transisi perjuangan yang di lacak dari sisi historis, sungguh sangat menyedihkan. Meskipun begitu, tetapi ada sisi positif yang menjadi catatan evalusasi peradaban, dari zaman kolonialisme sampai kepada era reformasi.
Sejara itu sudah membekas dalam tubuh masyarakat Indonesia dan tidak mungkin kita hilangkan, karena semua proses dialektika historis itu merupakan tuntutan peradaban. Lantas apa peran agen perubahan hari ini, dalam tanda kutip mahasiswa, sejauh mana manisfestasi fungsi kontrolnya terhadap negara.
Mahasiswa yang menamakan dirinya sebagai kaum intelektual yang menjadi garda revolusioner pembela kaum tertindas, saya ingat kata-kata Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta, beliau mengatakan bahwa “mahasiswa adalah akal dan hati masyarakat”, pernyataan ini yang membuat saya berani mengevaluasi gerakan-gerakan mahasiswa hari ini.
Bukan bermaksud tendensius, tetapi ini adalah refleksi terhadap dunia gerakan demi menghindari istilah demagog, seperti yang dikatakan salah satu tokoh penentang kapitalisme yaitu Karl Marx.
Di awal abad 20, gerakan protes dunia marak terjadi di Eropa dan Amerika Latin, gerakan itu muncul akibat kebijakan pemerintah yang sifatnya kapitalistik seperti yang dijabarkan oleh Hendri Teja dkk. dalam buku Suara Rakyat Suara Tuhan itu.
Yang menjadi catatan penting mahasiswa Indonesia, apakah negara ini sudah merdeka 100 persen dari aspek ekonomi, sosial politik dan budaya? apakah segalah macam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah sesuai dengan amanat konstitusi?
Kalau itu benar suda terjadi, berarti kita tidak sedang hidup dalam kemunafikan, tetapi jika itu adalah suatu kebohongan maka kita seperti sedang memperpanjang barisan perbudakan, dan sedang menari di atas makam para korban akibat ulah negara.
Lihat saja Pemilu 2019 silam yang merupakan salah satu momentum sejarah dalam dekadensi demokrasi di Indonesia, pemilu yang membuat ratusan petugas KPU meninggal dunia hanya karena imbas dari propaganda elite politik dalam perebutan kursi kekuasaan, begitu juga hari ini dihebohkan dengan kasus Wadas, Jawa Tengah, dan negara menutup mata akan hal itu.
Kemudian, apakah mahasiswa dan aktor intelektual juga ikut-ikutan tidur seperti itu? bagi saya ini suatu pembodohan yang harus segera di selesaikan, bukan hanya itu, tetapi segalah macam problem yang bersinggungan dengan kemanusian dan bertentangan dengan keadilan sosial.
Dimana mulutmu mahasiswa, mengapa kamu diam, mengapa kamu tidak berbicara seperti lantangnya suaramu ketika melakukan orasi di depan kantor legislatif. Saya merindukan panji-panji kemenangan pada setiap mantra-mantra perjuangan kita di jalanan dan dimanapun itu, apa karena kamu sudah terbius oleh arogansi praktis partai politik, atau mungkin ada faktor lain seperti membangun gerakan itu hanyalah momentum, agar terlihat sebagai pahlawan oleh pacarmu?
Kalaupun itu terjadi, maka itu adalah suatu penghinaan terhadap mahasiswa dan dunia gerakan. Pada akhirnya ini merupakan sebuah otokritik dan evaluasi terhadap aktivis jalanan, sudah saatnya kita bangkit menghancurkan kekuasaan yang sifatnya tirani dan totaliter.
Sudah saatnya kita hancurkan dominasi dan kontrol, karena kita adalah rahim peradaban untuk masa depan bangsa. Sebagai simbol perjuangan, maka mari rapatkan barisan, wujudkan satu misi yang sama yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Panjang umur perjuangan.
Exen Jontona, Presidium Hubungan Perguruan Tinggi PMKRI Cabang Malang.
Exen Jontona, Presidium Hubungan Perguruan Tinggi PMKRI Cabang Malang/ist. |