Serupa murid Yesus, kita adalah orang-orang utusan. Orang-orang terpilih. Terpilih dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi.
Saya pribadi memilih PMKRI sebagai rumah untuk mengaktifasi harapan, mengokohkan keberpihakan dan merayakan kemenangan-kemenangan hidup. Sesederhana apapun itu.
Tak hanya saya. Ada banyak orang di rumah ini. Rumah yang mencerminkan keragaman pikiran, sikap dan tindakan. Rumah yang mengikat kuat orang-orangnya dengan persekutuan dan persaudraan sejati.
Serupa murid Yesus yang mengikuti kursus kilat selama 3 tahun, menemani Yesus, dari kampung ke kampung, mengurus segala perkara manusia.
Demikian juga kader PMKRI. Dilatih untuk bekerja sama menuntaskan masalah, menggantikan hujatan moral dengan etika kebersaman penuh pengertian yang membawa persatuan, bukan perpecahan.
Nama gerakan itu kasih. Menubuh dalam diri dan kebersamaan, dalam terang roh kudus. Tidak pandang kelamin dan orientasi seksual. Tidak pandang suku, ras dan lapisan sosial-ekonomi.
Persekutuan itu mengubah dunia, dari masing-masing ketekunan kami menjalani kehidupan. Keyakinanan kami, kasih itu harus universal, dinyatakan, ditegakkan, dan terus diperjuangkan. Di mana pun dan kapan pun, meski itu harus mengambil resiko.
Kami mengamini, demokrasi harus menjadikan politik kasih ini panduan belajar dan bertindak membangun demos-komunitas perubahan dan membentuk barisan para rasul-gerakan para kader yang berkesadaran universal.
Baca juga: Soroti RUU Penyiaran, PP PMKRI: Ancam Kebebasan Pers
Menyemai Perubahan
Yesus pernah berkata: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup.” Apakah Dia masih menjadi panglima perang melawan pemiskinan dan penindasan? Masihkah perlu pelajaran kasih keselamatan itu kita bahas dan gunakan untuk mendorong partisipasi dan emansipasi bagi diri kita dan sesama yang tertindas, terkucil dan tertinggal? Singkat kata, masih perlukah Dia kita jadikan kompas politik perubahan hari ini?
Saya merekam banyak hal baru dan menarik dari perjalanan PMKRI akhir-akhir ini. Pertama, isue perempuan cukup mendapatkan perhatian yang serius. Problem mental health, kekerasan seksual, perempuan dan relasi kuasa dalam pembangunan. Bagi saya ada angin segar dan komitmen serius PMKRI untuk terus menjadi bagian dalam gerakan perempuan.
Kedua, isue lingkungan yang berkelanjutan. Diskursus soal ini meletakan poblem lingkungan dan pembangunan ekstraktif sebagai akibat langsung dari tidak terkendalinya perilaku konsumsi. Bagi saya ini temuan solusi yang menarik. Hedonisme dan konsumerisme yang tidak terkendali membuat banyak hutan terus digunduli.
Ketiga, demokrasi digital. Memang ada dua wajah ambivalensi dalam kehadiran teknologi digital, yakni wajah yang memberi peluang dan sisi lain sekaligus membawa aspek ancaman dan kecemasan. Namun PMKRI bersih-tegas untuk terus merawat sikap kritis dan tidak sekedar menjadi subjek pasif dalam pemanfaatan dan penggunaan teknologi digital.
Baca juga: Toleransi Antar Umat Beragama; Mempertahankan Persatuan Bangsa
Aktifasi Harapan
Jika mencintai PMKRI adalah kesalahan, setidaknya dari sana lahir sebuah pengalaman, pembelajaran dan perjumpaan. Juga tentang rasa: cemburu, bahagia, marah dan duka. Memang semuanya tak mudah dipahami dan dimengerti.
Yang pasti PMKRI adalah rumah dengan ragam kisah dan peristiwa. Buat seluruh kader PMKRI, mari terus meneguhkan martabat, meraih kemajuan dan menyemai perubahan.
Perubahan itu bukan sekedar menginterupsi kekuasaan yang timpang tapi juga meneguhkan institusi yang bisa mengabadikan praktek kemenangan-kemenangan sederhana.
Dirgahayu PMKRI ke-77 tahun. Memilikimu seperti rahim memeluk janin.
Penulis oleh: Astra F. Tandang. S.IP., M.A – Ketua Litbang PP PMKRI 2022-2024